Jum'at, 19/04/2024 18:47 WIB

Sebelum Terlambat, Kenali Penyebab Gangguan Irama Jantung

Penyakit jantung merupakan salah satu masalah kesehatan yang paling mematikan. Hal ini juga cukup banyak dialami di seluruh dunia.

dr Sunu Budhi Raharjo

Jakarta, Jurnas.com - Penyakit jantung merupakan salah satu masalah kesehatan yang paling mematikan. Hal ini juga cukup banyak dialami di seluruh dunia.

Data statistik dunia menyatakan bahwa terdapat 9,4 juta kematian setiap tahun yang disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler dan 45 persen kematian tersebut disebabkan oleh penyakit jantung koroner (PJK).

PJK ini jika tidak tertangani dengan baik dapat memicu beberapa komplikasi yang berakibat fatal. Salah satunya gangguan irama jantung (aritmia). Penderita aritmia bisa merasakan irama jantungnya terlalu cepat, terlalu lambat, atau tidak teratur.

dr Sunu Budhi Raharjo, salah satu dokter di Heartology Cardiovascular Center mengatakan, ada beberapa orang yang mengalami irama jantung yang tidak normal. Detak jantungnya dapat terlalu cepat, terlalu lambat atau tidak teratur.

"Aritmia dapat disebabkan karena hipertensi, diabetes, kelainan katup jantung dan penyakit jantung koroner," kata dr Sunu dalam acara konferensi pers, Sabtu (09/01).

Menurutnya, pada beberapa kasus penyebabnya belum diketahui. Selain kondisi medis, aritmia juga dapat dipicu oleh gaya hidup yang tidak sehat, seperti tidak dapat mengelola stres dengan baik, kurang tidur, merokok, konsumsi minuman beralkohol atau berkafein secara berlebihan dan penyalahgunaan NAPZA.

"Ketika terjadi aritmia, beberapa orang tidak menyadari kondisi mereka karena gejalanya tidak spesifik," ujar Sunu.

Namun, lanjut Sunu, pada kasus-kasus yang berat, gangguan aritmia dapat menyebabkan terjadinya stroke, bahkan kematian jantung mendadak.

Ia menambahkan, ada beberapa jenis aritmia yang sering dijumpai, seperti Fibrilasi atrium (FA), yaitu kondisi ketika jantung berdetak lebih cepat dan tidak teratur, blok nodus sinus atau blok atrioventrikular, yaitu kondisi ketika jantung berdetak lebih lambat. Supraventrikular takikardi, yaitu kondisi ketika denyut jantung terlalu cepat dan teratur

"Ventrikel ekstra sistol, yaitu kondisi ketika ada denyutan lain di luar denyut normal dan Ventrikel takikardia/fibrilasi, yaitu kondisi ketika bilik jantung berdenyut sangat cepat bahkan hanya bergetar," katanya.

Dahulu, kata Sunu, satu-satunya cara untuk mengatasi aritmia adalah dengan meresepkan obat-obatan. Sayangnya efektivitas obat-obatan untuk pengobatan aritmia tidak terlalu tinggi dan perlu pemantauan yang ketat.

"Selain itu, obat-obatan anti aritmia juga sering memiliki efek yang tidak diharapkan dan mempunyai interaksi dengan obat-obatan lainnya," ujarnya.

Pada beberapa dekade terakhir, banyak pasien yang menderita aritmia lebih memilih untuk menjalani tindakan ablasi, karena tingkat keberhasilan yang tinggi dan pasien bisa bebas obat.

Tindakan ini merupakan tindakan intervensi non-bedah dengan menggunakan kateter yang dapat digunakan untuk menghancurkan sirkuit listrik yang tidak normal pada jantung seseorang.

Belum lama ini, kata Sunu, di Heartology Cardiovascular Center, melakukan tindakan ablasi 3 dimensi menggunakan HD Grid 3D Mapping system pada seorang pasien laki-laki berusia 70 tahun.

"Pasien ini menderita gangguan aritmia FIBRILASI ATRIUM (FA)," ujar Sunu.

FA adalah gangguan irama jantung yang paling sering ditemukan di dunia. Di Indonesia, saat ini, FA diperkirakan diderita oleh lebih dari 2 juta orang (referensi 1).

"Penderita FA memiliki risiko stroke sampai 5x lipat lebih tinggi dibanding pasien yang bukan FA (referensi 2). Selain itu, derajat keparahan stroke nya juga lebih tinggi," katanya.

Pasien yang dikerjakan dr Sunu ini juga memiliki riwayat stroke berulang. Sejauh ini obat-obat sudah dikonsumsi maksimal oleh pasien tersebut, namun penyakitnya belum teratasi.

Oleh karena itu, pasien ini perlu dilakukan tindakan kateter ablasi untuk menghilangkan sumber aritmianya. Fibrilasi Atrium merupakan salah satu jenis aritmia yang kompleks. Sumber aritmia utama berasal dari ke-empat vena pulmonalis yang berada di atrium/serambi jantung sebelah kiri.

Kompleksitasnya terutama terletak pada banyaknya titik/sumber aritmia yang harus dihilangkan (di-ablasi), sehingga tingkat kekambuhan tindakan ablasi FA berkisar 25-30% setahun pascatindakan.

Teknologi HD Grid 3D Mapping system yang digunakan di Heartology Cardiovascular Center memberikan paradigma baru dalam pemetaan aritmia, termasuk FA. Paradigma lama menggunakan kateter bipolar, sedangkan HD Grid menggunakan kateter multipolar dan multidirectional, sehingga bisa mendeteksi gap (celah) yang tidak terlihat oleh kateter bipolar.

Selain itu, teknologi pemetaan ini menggabungkan pemetaan magnetik dan impedans secara bersamaan yang memungkinkan tindakan kateter ablasi dilakukan dengan tingkat presisi dan akurasi yang tinggi.

Hal ini dibuktikan dengan bukti klinis yang menunjukkan bahwa penggunaan teknologi ini mampu menurunkan tingkat kekambuhan menjadi hanya sekitar 5-10% setahun pascatindakan (artinya 5-6x lipat lebih baik dibanding teknologi yang lama). Hal lain yang juga penting adalah waktu tindakan yang bisa lebih cepat.

dr Sunu mempelopori dalam penggunaan HD Grid Mapping System ini. Pertama di Indonesia. Tidak banyak rumah sakit yang memiliki teknologi ini, karena hanya sedikit Dokter Spesialis Jantung yang memiliki sub spesialisasi ini, disamping harga investasi peralatan yang cukup mahal.

Namun, Heartology berkomitmen dalam menyediakan layanan kardiovaskular berbasis teknologi termutakhir (advanced) dan tim dokter berpengalaman untuk memberikan layanan paripurna (uncompromized)

KEYWORD :

Penyakit Jantung Fibrilasi atrium dr Sunu




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :