Jum'at, 26/04/2024 02:34 WIB

Wamenag Minta Literasi Fikih Ekonomi Dikembangkan

Zainut menilai kajian Fikih dewasa ini seharusnya tidak hanya berhenti pada bahasan jual beli secara umum (bab al-buyu’).

Wakil Menteri Agama RI Zainut Tauhid Saadi (Foto: Ist)

Jakarta, Jurnas.com - Wakil Menteri Agama (Wamenag) Zainut Tauhid Sa`adi meminta ulama untuk melakukan penguatan dan pengembangan literasi fikih ekonomi, untuk merespon fenomena perkembangan produk ekonomi syariah.

Dia menyebut di tengah lajunya arus informasi dan telekomunikasi, muncul berbagai model transaksi seperti dropship, pay order, termasuk penggunaan uang elektronik.

Karenanya, Zainut menilai kajian Fikih dewasa ini seharusnya tidak hanya berhenti pada bahasan jual beli secara umum (bab al-buyu’).

"Literasi Fikih ekonomi perlu untuk terus dikembangkan dan disosialisasikan agar bisa memberikan edukasi kepada masyarakat," tegas Wamenag dalam webinar `Grand Strategy Pengembangan SDM Ekonomi Islam Berbasis Link and Match Solusi SDM Unggul, Indonesia Maju`, pada Selasa (29/12).

Selama ini, lanjut Wamenag, fikih ekonomi terkesan selalu datang belakangan, sebatas memberikan legalisasi status kehalalan atau keharaman produk ekonomi. Akibatnya, kajian Fikih hanya mencoba menggali padanannya saja.

Beberapa contoh di antaranya ialah bunga bank padanannya mudharabah, padanan kredit kepemilikan rumah (KPR) adalah `aqdul ijarah al-muta’akhar bittamlik` dan sejenisnya.

Padahal, di satu sisi, ekonomi syariah kini sudah menjadi ilmu mapan yang dikaji dan dikembangkan oleh lembaga keilmuan, seperti perguruan tinggi.

"Seyogyanya, keadaan fikih ekonomi yang biasanya hanya memberikan judgement, sekarang harus dibalik. Bagaimana sebuah produk ekonomi yang akan berjalan harus dilandaskan atau dikonsultasikan terlebih dahulu sebelum berjalan di tengah masyarakat," tutur Wamenag.

Zainut menawarkan beberapa langkah yang bisa dipertimbangkan sebagai bagian dari grand strategy penyiapan SDM Ekonomi Syariah. Pertama, menerjemahkan visi Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) dan Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia (MEKSI) 2019-2024, secara operasional dalam kurikulum pendidikan.

"Saat ini, jumlah prodi dengan nomenklatur Ekonomi Syariah/Islam, Keuangan Syariah maupun akuntansi secara nasional, termasuk di PTKI, mencapai 908 prodi," ujarnya.

"Saya juga menyarankan untuk melibatkan pesantren-pesantren yang memiliki resources fiqh ekonomi, karena mereka memang memiliki turats-nya," lanjutnya.

Kedua, standardisasi kurikulum untuk mempersiapkan lulusan dengan kompetensi keilmuan fiqh ekonomi yang handal, baik di perguruan tinggi maupun pesantren. Kurikulum tersebut harus dapat mencetak orang-orang yang memiliki standar tinggi.

Ketiga, pelibatan Dewan Syariah Nasional (DSN) dan atau lembaga-lembaga fatwa pada ormas, misalnya LBM-NU atau Majelis Tarjih Muhammadiyah yang fokus dalam pengembangan ekonomi syariah.

Komponen ini lebih intens terlibat di tengah masyarakat, karena mereka yang memiliki masyarakat. Lembaga ini juga akan berpartisipasi aktif dalam mensosialisasikan secara intensif hasil keputusannya ke tengah masyarakat.

Zainut juga mengajak para ahli untuk dapat mewarnai dunia perekonomian Indonesia, bahkan dunia dengan ekonomi Islam. Wamenag optimistis sebab Indonesia sudah memiliki bahan dasar untuk pengembangan lebih lanjut ekonomi syariah.

Bahan dasar itu antara lain berupa keberadaan KNEKS yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2020, dan Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia (MEKSI) 2019-2024 yang menargetkan Indonesia menjadi minimal tiga besar ekonomi Islam terbaik dunia.

"Kedua hal tersebut membuktikan bahwa pemerintah memandang bahwa ekonomi syariah memiliki peran penting dalam pembangunan ekonomi nasional," tegasnya.

Tentang grand strategy pengembangan ekonomi syariah dan penyiapan SDM-nya, Wamenag meminta agar prinsip besar ajaran agama, seperti maqashid al-syariah ataupun hikmat tasyri’ (filsafat hukum Islam) dijadikan sebagai acuan.

Ada lima tujuan adanya syariat yaitu: melindungi agama (hifdz al-din), akal (hifdz al-‘aql), jiwa (hifdz al-nafs), keturunan (hifdz al-nasal), dan harta (hifdz al-mal).

"Prinsip dalam mengimplementasikan syariat itu pada hakikatnya untuk menghilangkan kesulitan (raf’u al-haraj), meringankan beban (taqlil al-takalif) dan ditempuh secara bertahap (tasyri’ al-tadriji)," jelasnya.

"Usaha memasyarakatkan ekonomi syariah bukan proses instan. Generasi saat ini mungkin tidak bisa langsung menikmati kerjanya. Tapi ini akan menjadi investasi keilmuan yang luar biasa besar bagi dunia keilmuan dan juga masyarakat muslim," tutup dia.

KEYWORD :

Wakil Menteri Agama Wamenag Zainut Tauhid Literasi Fikih Ekonomi




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :