Sabtu, 20/04/2024 16:36 WIB

HNW: Aturan Menyangkut Akhlak Bangsa Terdapat Dalam Pancasila dan UUD

Sebagaimana hadirnya manusia yang utuh, bagus luar dan dalam, komprehensif antara jasmani, spiritual dan intelektual.

Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid. (Foto: MPR)

Jakarta, Jurnas.com - Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW), meminta masyarakat mencontoh keteladanan moral dan akhlak para Bapak Bangsa, Ulama dan Habaib, yang berjuang bersama para pendiri bangsa dari beragam latar belakang, demi eksisnya Republik Indonesia.

Mulai dari proses kesepakatan menghadirkan Pancasila sebagai dasar negara, hingga finalnya pada 18 Agustus 1945. Serta menyelamatkan proklamasi kemerdekaan Indonesia dari upaya penjajahan kembali Belanda, sehingga Belanda hanya mengakui Republik Indonesia Serikat (RIS), sampai kembalinya NKRI.

Sudah sewajarnyalah bila sisi akhlak kenegarawanan para pendiri bangsa, termasuk ulama dan Habaib digaungkan. Karena hakekatnya, semua itu adalah untuk meneladani dan melanjutkan peran sejarah para Habaib dan Ulama, bersama pendiri Bangsa lainnya.

“Apalagi komitmen menghadirkan akhlaq Bangsa memiliki landasan yang kokoh, baik di dalam Pancasila maupun Undang-Undang Dasar 1945, bahkan sesudah diamandemen menjadi UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” kata Hidayat Nur Wahid secara daring saat menyampaikan Sosialisasi Empat Pilar MPR RI dihadapan anggota dan simpatisan Front Pembela Islam (FPI), Jakarta Pusat, Kamis (3/12/2020)

Selain nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila, setidaknya ada tiga ketentuan UUD NRI Tahun 1945 yang menguatkan prinsip untuk selalu menghadirkan akhlak bangsa. Pertama, terkait tujuan pendidikan yang disebutkan dalam Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 pasca amandemen. Yaitu,  meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

“Itu merupakan landasan yang kokoh dan kuat agar akhlak bangsa selalu dihadirkan. Sebagaimana hadirnya manusia yang utuh, bagus luar dan dalam, komprehensif antara jasmani, spiritual dan intelektual,” kata Hidayat menambahkan.

Kedua, adanya penegasan kedudukan peradilan agama sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman yang disebutkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 pasca amandemen. Walaupun sebelumnya peradilan agama sudah eksis di Indonesia, tetapi amandemen konstitusi memberi penegasan kedudukannya dalam UUD 1945.

Ketentuan Pasal 24 ayat (2) itu kemudian diturunkan ke dalam UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pasal 12B UU Peradilan Agama itu menyebutkan bahwa syarat menjadi hakim harus memiliki ketakwaan dan akhlak mulia.

Syarat itu bukan hanya dicantumkan khusus bagi hakim peradilan agama, tetapi juga cabang peradilan lainnya, seperti peradilan umum dan peradilan tata usaha negara.

“Jadi, para hakim dalam memutus perkara tidak hanya harus berlaku adil, tetapi juga harus berdasarkan ketakwaan dan akhlak mulia,” tukas HNW.

Ketiga, adanya ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 pasca amandemen yang mencantumkan agama sebagai salah satu nilai dalam melakukan pembatasan terhadap hak asasi manusia (HAM). “Pengaturan dan Pelaksanaan HAM di Indonesia dibatasi oleh undang-undang dan nilai-nilai yang berlaku, termasuk agama,” jelas Hidayat lagi.

HNW menjelaskan berdasarkan tiga landasan tersebut, maka seharusnya umat Islam dapat secara aktif ikut serta berperan membangun dan mengawal pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Agar bisa merealisasikan cita-cita Indonesia Merdeka.

Ia mengkhawatirkan saat ini ada dua kutub ekstrem yang saling berseberangan satu sama lain, yakni Islamophobia (ketakutan yang berlebihan terhadap Islam) dan Indonesiaphobia (ketakutan atau anti terhadap Indonesia), perlu dihindari.

Umat Islam dan bangsa Indonesia, kata Hidayat tidak boleh terjebak kepada dikotomi dan konflik Islamophobia maupun Indonesiaphobia. Meski kerap terdengar ada yang anti kepada Indonesia. Menyebut Indonesia kafir. Ada yang bilang Bid’ah. Apalagi para Ulama dan Habaib itu aqidahnya Ahlussunnah wal Jamaah (Sunni) yang orientasinya adalah hadirkan kebersamaan dan jauhkan pecahbelah.

"Para Ulama baik dari NU seperti KH Hasyim Asy’ari maupun Muhammadiyah seperti Ki Bagus Hadikusumo, mereka keluarkan fatwa Jihad, melawan penjajah Belanda, membela Indonesia Merdeka. Tetapi seruan Jihad itu tidak disampaikan dalam azan, karena Sunni memang tidak merubah azan, melainkan langsung ke Ummat, melalui saluran organisasi dan lain-lain. Cara yang efektif dan dibenarkan Agama. Sehingga tidak mau ikut bersama-sama memajukan Indonesia, sebagaimana dicontohkan oleh para Ulama dan Habaib Bapak-Bapak Bangsa. Itu semua tidak benar, karena Indonesia kita dengan Pancasila dan NKRI-nya, hakekatnya adalah warisan perjuangan umat Islam (ulama dan Habaib) yang ikhlas berjuang bersama para Pejuang dari latar belakang yang berbeda-beda, tapi satu tekad selamatkan Pancasila dan NKRI,” jelasnya.

Oleh karena itu, HNW menilai pentingnya mengenal dan menyegarkan  kembali ingatan kolektif atas keteladaan akhlak dan moral kenegarawanan para Ulama dan Habaib dan Bapak-Bapak Bangsa lainnya yang telah  menyepakati Pancasila dan menyelamatkan NKRI, melalui kegiatan sosialisasi 4 Pilar MPR.

“Agar akhlak kenegarawanan yang mereka contohkan itu, bisa selalu hadir membimbing dan menyelamatkan Bangsa dan Negara Indonesia, di tengah berbagai pusaran masalah yang ada,”pungkasnya.

KEYWORD :

Kinerja MPR Hidayat Nur Wahid Ulama Islamophobia Indonesiaphobia




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :