Rabu, 24/04/2024 22:54 WIB

Eksploitasi Anak, Stop Libatkan Anak dalam Promosi Rokok

Sejumlah pegiat perlindungan anak dari berbagai kota di Indonesia dan pakar hukum pidana sepakat bahwa promosi rokok yang melibatkan anak merupakan bentuk eksploitasi anak.

Media Briefing bertema 2 Dekade Gugatan Promosi Rokok dengan Eksploitasi Anak Dulu dan Sekarang yang diselenggarakan Yayasan Kepedulian untuk Anak Surakarta (KAKAK) dan Yayasan Lentera Anak (YLA), Kamis (25/11) di Solo, Jawa Tengah.

Jakarta, Jurnas.com - Sejumlah pegiat perlindungan anak dari berbagai kota di Indonesia dan pakar hukum pidana sepakat bahwa promosi rokok yang melibatkan anak merupakan bentuk eksploitasi anak.

Hal itu termaktub dalam Media Briefing bertema 2 Dekade Gugatan Promosi Rokok dengan Eksploitasi Anak Dulu dan Sekarang yang diselenggarakan Yayasan Kepedulian untuk Anak Surakarta (KAKAK) dan Yayasan Lentera Anak (YLA), Kamis (25/11) di Solo, Jawa Tengah.

Prof. Irwanto, pakar perlindungan Anak, menegaskan salah satu hak anak adalah hak kesehatan dan kesejahteraan dasar, dimana anak berhak memperoleh standar kehidupan yang layak agar mereka berkembang baik fisik, mental, spiritual, moral dan sosial dengan baik.

"Dengan kata lain anak berhak mendapatkan perlindungan dari segala bentuk ancaman yang dapat merugikan kepentingan terbaiknya untuk tumbuh kembang secara sehat, termasuk perlindungan dari ancaman bahaya rokok," katanya.

Menurut Prof Irwanto, dalam upaya melindungi anak dari bahaya rokok perlu dilakukan sejumlah langkah serius untuk melindungi tumbuh kembang anak agar mereka mendapatkan awal yang bagus. Karena itu, dalam konteks keluarga, orang tua yang sehat sangat dibutuhkan untuk menjamin keberlangsungan hidup anak yang sehat.

"Dalam konteks menciptakan awal yang bagus ini tidak mungkin jika orang tua lebih memilih membeli rokok daripada lauk yang bergizi. Apalagi jika orang tua anak sakit-sakitan dan meninggal akibat merokok, akan sangat berdampak pada terganggunya keberlangsungan hidup anak," ujarnya.

Prof Irwanto juga sepakat pentingnya melakukan edukasi bahaya rokok kepada anak supaya mereka mampu untuk melindungi dirinya sendiri.

Prof Irwanto menambahkan, meskipun sebagian pihak menganggap industry rokok memiliki kontribusi besar dalam perekonomian, hal ini sangat jauh tidak sepadan dengan dampak yang ditimbulkan dari bahaya rokok, khususnya dampak kepada generasi muda yang akan menjadi penerus di masa depan. Karena itu untuk melindungi anak-anak dari bahaya rokok, seharusnya rokok tidak diiklankan dan dipromosikan kepada anak.

Tetapi alih-alih dilarang, faktanya, rokok justru diiklankan dan dipromosikan secara masif di kalangan anak-anak. Sejumlah survei dan monitoring yang dilakukan membuktikan bahwa industri Rokok menggunakan berbagai siasat manipulatif untuk menjerat anak sebagai target pemasaran.

Mulai dari mempromosikan iklan rokok dekat sekolah (hasil monitoring YLA, YPMA dan SFA pada 2015) yang menemukan 85 persen sekolah yang dipantau terdapat iklan rokok yang berlokasi di warung/tempat jualan, menggunakan media sosial dan internet untuk menjangkau anak muda, hingga mempromosikan harga rokok murah dan penjualan batangan.

Sejatinya para pegiat perlindungan anak tidak tinggal diam menanggapi promosi rokok yang massif menyasar anak. Menurut Emmy L Smith, sejak 20 tahun lalu Yayasan KAKAK sudah mengajukan gugatan terhadap promosi rokok, yakni gugatan legal standing terhadap PT. BAT Indonesia di Pengadilan Negeri Surakarta dengan register peserta nomor: 127/Pdt.G/2000/PN. Ska.

Peristiwa tersebut bermula dari langkah PT. British American Tobacco (BAT) Indonesia Tbk yang meluncurkan merek rokok bernama Pall Mall. Promosi produk ini baru dilakukan di enam kota, salah satunya di Solo Jawa Tengah. Promosi itu diberi tajuk Naked Cantest. Dalam kontes ini, bagi gadis remaja yang berani membuka pakaiannya seminimalis mungkin akan mendapakan gelar Ratu Telanjang dan di beri hadiah Rp. 500.000.

"Promosi rokok Pall Mall ini memang diperuntukan bagi oang dewasa tetapi banyak anak yang menonton. Padahal di acara promosi ini ada kontes dimana peserta berlomba-lomba menanggalkan aksesoris, serta adanya peragaan busana yang seronok yang tidak sesuai dengan nilai budaya karena pesertanya mengenakan busana yang sangat minim hingga ada yang hanya mengenakan pakaian dalam, kata Emmy.

Ia menegaskan, promosi Pall Mall ini telah melanggar sejumlah peraturan, yakni UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, PP No. 81/1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan, Surat Keputusan Dirjen Pariwisata No. 14/U/II/1988 tentang Pelaksanaan Ketentuan Usaha dan Penggolongan Hotel, Tata Krama Periklanan Indonesia, serta SKB Mendagri dan Menhan dan Keamanan RI No. 153 /1995 dan No. KEP/12/XII/1985 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perijinan.

Dalam gugatannya, Yayasan Kakak menuntut PT. BAT Indonesia berikut agen promosinya meminta maaf kepada masyarakat Solo dan menuntut promosi naked contest di beberapa kota lain dihentikan. Yayasan Kakak di dukung 12 pengacara dari berbagai lembaga bantuan hukum yang tergabung dalam Tim Pembela Hukum Korban Pall Mall dan ada 14 lembaga yang tergabung Tim Advokasi Korban Pall Mall (TAK Pall Mall).

Dalam pengajuan gugatan tersebut ada beberapa kendala yang mereka temui, antara lain kendala teknis tidak dapat menghadirkan salah satu tergugat, proses pengadilan yang lama atau kurang lebih setahun (Desember 2000 12 November 2001) sehingga sangat menguras tenaga, pikiran dan materi, serta kendala non teknis seperti adanya pro kontra di masyarakat, ancaman dan teror agar penggugat mencabut gugatan, serta masih kurangnya pemahaman Hakim terhadap gugatan legal standing.

Pada akhirnya pokok perkara gugatan tidak dikabulkan tapi legal standing Yayasan Kakak diakui atau diterima, dan PT BAT menghentikan tour promosi ke-3 Indonesia di Kota Solo dari rencana semula di 10 kota

Kasus eksploitasi industri rokok dalam melakukan promosi tidak hanya sampai disitu. Pada 2019 publik dihebohkan dugaan eksploitasi anak dalam penyelenggaraan Audisi Beasiswa Bulutangkis Djarum. Berbeda dengan Pall Mall yang terang-terangan menjual ketelanjangan perempuan, Djarum diduga mengeksploitasi anak melalui kegiatan berbalut beasiswa.

Dalam Audisi Beasiswa, Djarum melibatkan anak kisaran usia 5 sampai 15 tahun, dimana anak-anak wajib menggunakan kaos yang menampilkan logo dan brand image rokok Djarum, yang menjadikan anak seolah papan iklan berjalan yang mempromosikan merk rokok.

Reza Indragiri Amriel selaku Konsultan Lentera Anak, menegaskan pemenang audisi bulutangkis bukanlah anak-anak yang mendapat secuil beasiswa, melainkan penyelenggara audisi. Sebab, data membuktikan, selama pelaksanaan audisi bulutangkis ini terjadi ketimpangan antara jumlah peserta audisi dan penerima beasiswa.

"Dalam 10 tahun pelaksanaan audisi, jumlah peserta audisi naik hingga lebih 13 kali lipat., dimana total sebanyak 23.683 anak terlibat, namun jumlah penerima beasiswa hanya 245 orang saja, yaitu 0,01% dari jumlah peserta yang mengikuti audisi," tegasnya.

Menurut Reza, narasi terkait audisi beasiswa bulutangkis berawal pada kegiatan FGD di Jakarta pada 28 Agustus 2018, dimana sejumlah LSM pegiat anak menyampaikan bahwa adanya unsur eksploitasi dalam audisi beasiswa bulutangkis  Djarum. Namun Reza menyesalkan bahwa pada 12 september 2019 justru terjadi kesepakatan antara KPAI dan Djarum di Kantor Kemenpora.

Dari sini terlihat bahwa Negara masih setengah hati dalam menegaskan adanya eksploitasi dalam audisi bulutangkis. Karena Negara justru berkompromi dengan industry, kata Reza.

Selain itu, ada beberapa permasalahan lain terkait audisi bulutangkis Djarum. Yang pertama, bahwa nama Djarum terasosiasi dengan rokok, dimana rokok mengandung zat adiktif dan berbahaya bagi Kesehatan sesuai UU Kesehatan).

Kedua, kegiatan audisi mengikutsertakan anak dalam penyelenggaraan yang disponsori produk tembakau (melanggar PP 109/2012 Pasal 47).

Ketiga, kegiatan audisi menggunakan nama merek dagang dan logo produk tembakau termasuk brand image produk tembakau; (melanggar PP 109/2012 Pasal 37), dimana brand image termasuk diantaranya semboyan yang digunakan oleh Produk Tembakau dan warna yang dapat diasosiasikan sebagai ciri khas Produk Tembakau yang bersangkutan.

Serta keempat, adanya dugaan eksploitasi anak karena memanfaatkan tubuh anak untuk mempromosikan brand image Djarum yang merupakan produk tembakau (melanggar UU Perlindungan Anak Pasal 66 & 76).

Dalam diskusi di ranah publik, kasus audisi menimbulkan silang pendapat mengenai eksploitasi. Sebagian kalangan pemerintah menilai tidak ada eksploitasi, dan sebagian masyarakat menganggap industri rokok berjasa memajukan olah raga di Indonesia dan tidak melihat ada unsur eksploitasi.

Tetapi menurut Abdul Wahid Oscar, mantan Hakim Tinggi Pengawas, UU Perlindungan Anak No. 35/2014 dalam pasal 13 secara tegas menyebutkan salah satu hak anak yaitu : (1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lai nmanapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan : diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya.

Oscar menegaskan, jika mengacu pada Pasal 76 I UU Perlindungan Anak No. 35/2014, maka setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap anak.

Sanksi pidana yang dapat dikenakan diatur dalam pasal 88: Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76I dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.200.000.000; (dua ratus juta rupiah).

Lebih lanjut, dalam pasal 76 J ayat (2) UU Perlindungan Ana ada aturan yang berisi larangan sbb : (2) Setiap orang dilarang dengan sengaja menempatkaan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalah gunaan, serta produksi dan distribusi alkohol dan zat adiktif lainnya.

Adapun sanksi pidana yang dapat dikenakan atas pelanggaran pasal 76 J (2) disebutkan dalam pasal 89 ayat (2) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76J ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.20.000.000; (dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.200.000.000; (dua ratus juta rupiah).

Gugatan terhadap promosi rokok sejak dua puluh tahun lalu hingga saat ini merupakan proses pembelajaran bagi pegiat perlindungan anak bagaimana membangun jejaring dan membangun pendidikan praktis di masyarakat.

KEYWORD :

Promosi Rokok Eksploitasi Anak Generasi Bangsa




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :