Jum'at, 19/04/2024 11:18 WIB

Gerakan Pembangkangan Sipil Membayangi UU Omnibus Law

Bentuk-bentuk pembangkangan sipil, diantaranya menolak membayar pajak, tidak mau bayar listrik, bayar PBB, BPJS, dll. 

Demo Mahasiswa tolak Omnibus Law

Jakarta, Jurnas.com - Penolakan masyarakat, khususnya para pekerja, buruh, dan mahasiswa terhadap Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja kini menjurus pada Gerakan Pembangkangas Sipil (Civil Disobediance).

"Pembangkangan sipil ini akan terjadi, manakala saluran demokrasi disumbat, dan aspirasi-aspirasi rakyat diabaikan," ujar aktivis pekerja dan buruh Ketum Federasi Serikat Pekerja Transport Seluruh Indonesia (FSPTSI), HM. Jusuf Rizal saat ditanya wartawan di Jakarta, Senin (26/10/2020).

HM. Jusuf Rizal yang juga Presiden LSM LIRA (Lumbung Informasi Rakyat) mengakui, pemerintah bisa saja melobi ormas-ormas untuk mendukung Omnibus Law. Namun rakyat saat ini sudah pintar dan punya sikap konsisten menolak omnibus law.

"Apa yang disampaikan pemerintah tentang UU Omnibus Law itu benar semua, tapi kebenaran itu kan bukan hanya milik pemerintah. Rakyat juga memiliki penilaian yang rasional dan logik. Kan tidak mungkin sekian puluh guru besar di berbagai universitas bodoh dalam konteks UU Omnibus Law,” tegas pria berdarah Madura-Batak itu

Gagasan “pembangkangan sipil” muncul ketika Guru Besar Hukum Universitas Gajah Mada, Zaenal Arifin Mochtar menilai pemerintah mulai refresif terhadap aksi demo menolak UU Omnibus Law. Sejumlah aktivis yang Vokal mulai ditangkapi dengan Pasal pelanggaran UU ITE maupun peraturan Covid-19. Tokoh penggerak dicari-cari kesalahannya agar diam. Sejumlah pimpinan pekerja dan buruh pun telah tiarap.

Menurut Jusuf Rizal civil disobedience adalah satu bentuk protes warga negara terhadap pemerintahnya. Dimana masyarakat secara sengaja melanggar hukum/aturan dan menolak perintah.

Jusuf Rizal menyontohkan bentuk-bentuk pembangkangan sipil, diantaranya yang paling lunak adalah dengan menolak membayar pajak, tidak mau bayar listrik, bayar PBB, BPJS, dll. Cara lain lebih keras dengan sengaja mogok kerja, vandalisme ruang publik, memboikot dan mensabotase program-program pemerintah.

"Ini merupakan bentuk perlawanan “tanpa kekerasan” (non-violence). Dalam pembangkangan sipil, masyarakat menerima konsekuensi untuk ditahan dan dipenjarakan ketika melanggar hukum. Pembangkang juga tidak melawan ketika ditangkap," jelas Jusuf Rizal.

Jika terjadi pembangkangan cukup luas, lanjut Jusuf Rizal, maka pemerintah akan dihadapkan pada dua pilihan, apakah akan memenuhi tuntutan masyarakat atau memenjarakan sebanyak mungkin orang.

"Jika yang dipilih pemerintah adalah memenjarakan rakyat, maka dipastikan ruang penjara di Indonesia tidak akan cukup,” tegas Jusuf Rizal yang merupakan penggagas berdirinya Partai Parsindo (Partai Swara Rakyat Indonesia) yang kini mewadahi aspirasi dan politik Para Pekerja dan Buruh.

Istilah Pembangkangan Sipil (civil disobedience) dipopulerkan oleh Henry David Thoreau (1817–1862), pujangga dan pecinta alam asal Amerika, ketika memprotes perbudakan dan menolak Perang Amerika-Meksiko (1846-1848).
Kata Thoreau ketika itu, jika mesin pemerintahan menuntut kita menjadi agen ketidakadilan terhadap orang lain, maka, saya katakan, mari kita langgar hukum.

Gagasan pembangkangan sipil Thoreau ini kemudian mengilhami Mahatma Gandhi ketika melawan kolonial Inggris di India, dan Martin Luther King Jr ketika memprotes rasialisme di Amerika Serikat.

“Apakah Pekerja, Buruh, Mahasiswa dan masyarakat akan melakukan pembangkangan sipil menolak UU Omnibus Law ketika Presiden Jokowi tetap bertahan tidak mau mencabut UU Omnibus Law, itu tergantung perkembangan. Sejauh ini mereka tetap akan terus demo dan tidak percaya untuk melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi,” tegas Jusuf Rizal, Sekjen Media Online Indonesia (MOI).

KEYWORD :

HM. Jusuf Rizal Omnibus Law Pembangkangan Sipil




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :