Kamis, 18/04/2024 09:38 WIB

Gapasdap: Short Sea Shipping Mematikan Usaha Penyeberangan

Kisruh bisnis penyeberangan seperti ini akibat adanya dualisme kebijakan di satu kementerian.

Proses loading di kapal penyeberangan.

JAKARTA, Jurnas.com – Short sea shipping dinilai mematikan usaha penyeberangan. Saat ini setidaknya sudah ada enam perusahaan penyeberangan yang mengaku mengalami kesulitan usaha yang salah satunya akibat munculnya layanan short sea shipping yang dinilai tidak berimbang atau equal.

Demikian disampaikan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (Gapasdap) Khoiri Soetomo dalam Webinar Diskusi Online (Diskon) Forum Wartawan Perhubungan (Forwahub) dalam menyambut Hari Perhubungan Nasional (Harhubnas) di Jakarta, Rabu (16/9/2020).

“Kami tegaskan perusahaan peyeberangan tidak pernah takut bersaing asalkan ada pengaturan yang seimbang,” kata Khoiri.

Perizinan layanan Short Sea Shipping memang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Ditjen Hubla). Sedangkan perusahaan penyeberangan diatur oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (Ditjen Hubdat). Kedua direktorat jenderal ini sama-sama berada di bawah Kementerian Perhubungan.

Menurut Khoiri, aturan di short sea shipping sangat longgar, tidak ketat seperti di usaha penyeberangan. Sehingga kapal-kapal penyeberangan yang telah lebih dulu beroperasi sulit bersaing dengan short sea shipping.

“Sudah aturannya lebih longgar, lintasan yang dilayani oleh short sea shipping juga berhimpitan dengan lintasan penyeberangan. Bagaimana kita bisa bersaing dengan fair,” kata Khoiri.

Khoiri menyampaikan beberapa aturan yang tidak berimbang antara penyeberangan dengan short sea shipping. Perizinan usaha penyeberangan ada di Ditjen Hubdat, izin usaha short sea shipping ada di Ditjen Hubla.

Kemudian izin masuk kapal penyeberangan diatur oleh Peraturan Menteri, short sea shipping tidak diatur. Tarif penyeberangan diatur oleh regulasi, tarif short sea shipping tidak diatur alias mekanisme pasar.

Jadwal penyeberangan juga diatur dan ditentukan oleh pemerintah. Sementara kapal-kapal short sea shipping bebas tergantung operator. Operasi kapal penyeberangan juga diatur berdasarkan Standar Pelayanan Minimum. Sedangkan short sea shipping tidak.

“Demand (penumpang dan barang) diatur oleh pengelola pelabuhan. Sedangkan shor sea shipping 100 persen pelanggan yang menentukan mau pakai kapal yang mana,” ujarnya.

Khoiri meminta Menteri Perhubungan sebagai lembaga yang membawahi kedua direktorat jenderal tersebut mau mengevaluasi keberadaan short sea shipping. Kalau pun shiort sea shipping tetap harus ada, keberadaannya jangan sampai mematikan usaha penyeberangan yang telah lama beroperasi dan berjuang melayani konektivitas penumpang dan barang di tanah air.

Kemenhub, lanjut Khoiri, harus mampu melihat dapat dari kebijakan yang akan dibuat. “Kalau mau menyelenggarakan layanan short sea shipping, jangan di lintasan yang berhimpitan dengan layanan sejenis yang sudah ada lebih dulu,” katanya.

Beberapa layanan short sea shipping yang berhimpitan dengan penyeberangan adalah lintasan short sea shipping Tanjung Wangi (Banyuwangi) – Lembar (NTB) yang berhimpitan dengan dua  lintasan penyeberangan, yakni Lembar-Padangbai dan Ketapang-Gilimanuk. Kemudian lintasan short sea shipping Bojonegara-Bakauheni dengan lintasan penyeberangan Merak-Bakauheni.

“Kabarnya sebentar lagi akan ada layanan Ciwandan-Panjang yang juga berhimpitan dengan Merak-Bakauheni,” katanya.

 

Ambigu Regulasi

Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menilai, kisruh bisnis penyeberangan seperti ini akibat adanya dualisme kebijakan di satu kementerian, yakni Kementerian Perhubungan.

“Short sea shipping muncul karena ada ambigu regulasi di Kemenhub. Peraturannya terus saling berhimpitan,” kata Agus.

Menurutnya Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi harus mampu membuat terobosan untuk mengakhiri berbagai persoalan di sektor transportasi, termasuk salah satunya soal penyeberangan dan short sea shipping.

“Kita tidak hanya perlu orang baik dan santun. Tetapi juga perlu orang yang tegas dan mampu menyelesaikan setiap persoalan yang berada di bawah kewenangannya,” kata Agus.

Menurut Agus, regulasi penyeberangan dan short sea shipping akan lebih baik berada di satu direktorat jenderal  dengan demikian tata aturannya akan sama, tidak saling mematikan.

Senada dengan Agus Pambagio, anggota Ombudsman RI Alvin Lie mengatakan bahwa Ombudsman juga menemukan banyaknya dualisme regulasi dan maladminsitrasi di Kementerian Perhubungan yang berakibat timbulnya potensi persaingan tidak sehat.

Persoalan penyeberangan dan short sea shipping hanya salah satu contoh saja dari akibat biasnya regulasi dan kewenangan di Kemenhub.

“Ombudsman menyarankan sebaiknya penyeberangan dan laut disatukan saja. Supaya tidak terkesan ada yang merasa diambil dan mengambil, direktorat jenderalnya diubah menjadi Direktorat Jenderal Angkutan Perairan,” kata Alvin Lie.

Dengan cara seperti ini, akan menghapus dualisme regulasi dan juga dualisme pembinaan sebagaimana yang terjadi saat ini.

Akademisi dari Institut Sepuluh November Surabaya (ITS) Tri Admadi juga sependapat bahwa agar tidak ada dualisme kebijakan dalam satu kementerian, perlu ada ketegasan dan keputusan pemerintah.

“Harus ada aturan yang sehat untuk menciptakan kompetisi yang sehat. Lagi pula di negara mana pun tidak ada yang namanya angkutan penyeberangan atau ferry itu di bawah land transportation. Cuma di Indonesia saja,” katanya.

Menurutnya, cantalon ke tingkat global atau internasional juga angkutan ferry itu ke organisasi maritim dunia atau International Maritim Organization (IMO). Sementara representasi IMO di Indonesia adalah Perhubungan Laut, bukan Perhubungan Darat.

KEYWORD :

gapasdap penyeberangan short sea shipping




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :