Jum'at, 26/04/2024 00:52 WIB

Abbas: Tidak Ada Perdamaian di Timur Tengah tanpa Akhir Pendudukan Israel

Perdamaian di kawasan Timur Tengah hanya mungkin terjadi setelah penarikan Israel dari wilayah pendudukan dan pengakuan hak Palestina untuk mendirikan negara dengan Yerusalem Timur al-Quds sebagai ibukotanya.

Presiden Palestina Mahmoud Abbas jadi pembicara dalam pertemuan Dewan Pusat Palestina di kota Ramallah, Tepi Barat, 14 Januari 2018 (Mohamad Torokman/Reuters)

Yerusalem, Jurnas.com - Presiden Palestina, Mahmoud Abbas dengan keras menegur perjanjian normalisasi yang ditandatangani Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain dengan Israel di Gedung Putih pada Selasa (15/9).

Ia mengatakan bahwa perdamaian di kawasan Timur Tengah hanya mungkin terjadi setelah penarikan Israel dari wilayah pendudukan dan pengakuan hak Palestina untuk mendirikan negara dengan Yerusalem Timur al-Quds sebagai ibukotanya.

Pernyataan itu disampaikan tak lama setelah Presiden AS, Donald Trump menjadi tuan rumah upacara di Gedung Putih untuk menandatangani perjanjian yang bertujuan meresmikan hubungan antara UEA, Bahrain dan rezim pendudukan Israel.

Kesepakatan itu ditandatangani Menteri Luar Negeri UEA, Sheikh Abdullah bin Zayed Al Nahyan, Menteri Luar Negeri Bahrain Abdullatif bin Rashid Al Zayani, dan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu.

Abu Dhabi dan Manama menandatangani kesepakatan yang ditengahi AS setelah kembali pada pernyataan lama bahwa mereka akan menormalisasi hubungan dengan rezim pendudukan hanya setelah keluhan Palestina ditangani dan negara Palestina merdeka didirikan dengan kota suci Yerusalem al- Quds sebagai ibukotanya.

"Masalah utamanya bukanlah antara negara-negara yang menandatangani perjanjian dan otoritas pendudukan Israel, tetapi dengan rakyat Palestina yang menderita di bawah pendudukan," kata Abbas dalam pernyataan itu.

"Segala sesuatu yang terjadi di Gedung Putih hari ini dalam hal penandatanganan perjanjian antara UEA, Kerajaan Bahrain dan otoritas pendudukan Israel tidak akan mencapai perdamaian di wilayah tersebut selama As dan otoritas pendudukan Israel tidak mengakui hak rakyat Palestina untuk mendirikan negara merdeka dan berkelanjutan pada 4 Juni 1967 berbatasan dengan Yerusalem Timur sebagai ibukotanya, dan menyelesaikan masalah pengungsi Palestina sesuai dengan Resolusi 194," tambahnya.

"Tidak ada perdamaian, keamanan atau stabilitas yang akan dicapai bagi siapa pun di kawasan tanpa mengakhiri pendudukan dan rakyat Palestina mencapai hak-hak penuh mereka sebagaimana diatur dalam resolusi legitimasi internasional," tegas Abbas.

Abbas juga memperingatkan bahwa upaya untuk melewati rakyat Palestina dan kepemimpinan mereka yang diwakili oleh Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) akan berdampak serius, yang akan ditanggung oleh pemerintah AS dan otoritas pendudukan Israel.

Dengan kesepakatan yang ditengahi AS pada Selasa (15/9), UEA dan Bahrain menjadi hanya negara Arab ketiga dan keempat yang pernah menormalisasi hubungan mereka dengan Israel setelah Mesir dan Yordania.

Tren normalisasi telah disorot secara seragam oleh semua orang dan faksi Palestina serta publik Bahrain yang telah mengadakan demonstrasi harian sejak awal.

Sepanjang hari, wilayah Palestina di Jalur Gaza dan Tepi Barat yang diduduki Tel Aviv menyaksikan unjuk rasa parau menentang kesepakatan, dan pidato dan pernyataan kecaman penuh semangat oleh para pemimpin Palestina dan otoritas Muslim di seluruh dunia.

Washington juga menjadi lokasi protes untuk mengecam perjanjian kontroversial tersebut.

Di London, pengunjuk rasa yang berkumpul di depan Kedutaan Besar Bahrain mengibarkan bendera Palestina dan melakukan ejekan pada upacara penandatanganan dengan berpakaian seperti pejabat Amerika, Israel, Emirat, dan Bahrain. (Press TV)

KEYWORD :

Palestina Mahmoud Abbas Uni Emirat Arab Bahrain Amerika Serikat




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :