Jum'at, 19/04/2024 05:34 WIB

RUU MK Disahkan, Nagara Institute: Akrobat Legislasi yang Kusut

Substansi RUU MK tak berkaitan dengan isu strategis yang faktual terjadi di masyarakat

Akbar Faizal, Direktur Eksekutif Nagara Institute.

Jakarta, Jurnas.com - Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga Atas UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) telah disahkan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR, Jakarta, Selasa (1/9/2020).

Pengesahan RUU secara kilat ini mendapat sorotan pedas dari Direktur Eksekutif Nagara Institute, Akbar Faizal. Ia menilai pengelolaan manajemen pembuatan UU di DPR masih kusut.

"RUU ini sekali lagi menunjukkan model kerja DPR dalam hal penyusunan produk perundang-undangan tidak memiliki kriteria yang jelas dan baku," jelas Akbar Faizal dalam keterangan tertulis diterima jurnas.com, Kamis (3/9/2020).

Akbar menilai tak ada alasan yang cukup untuk tergesa-gesa membahas pengajuan RUU MK, terutama jika dikaitkan dengan problem yang ingin diatasi sebagai alasan utama pembuatan undang-undang.

Ia juga menilai substansi RUU MK tak berkaitan dengan isu strategis yang faktual terjadi di masyarakat.

"Kesan ketergesaan pengajuan dan pembahasan RUU ini sebagai sebuah akrobat legislasi," tandas Akbar.

Mantan anggota DPR dari Partai Hanura ini mengingatkan, RUU MK yang disahkan DPR ini tidak termasuk dalam list prioritas pada Prolegnas. Lalu ada apa dibalik semua ini? Publik selanjutnya bertanya-tanya tanpa tahu harus kemana untuk mencari kepastian informasinya.

"Justru yang muncul adalah tudingan terjadinya ‘tukar guling’ menyangkut beberapa produk UU strategis di masa mendatang. Semisal, gugatan terhadap UU Minerba atau pengamanan Omnibus Law dalam RUU Ciptaker," jelas Akbar.

Mempelajari draft RUU ini, lanjut Akbar, substansi masalah yang ingin direvisi tak jauh berbeda dengan draft RUU sebelumnya yang masih berputar di wilayah administrasi, pengisian jabatan hakim, dan periodisasi.

"Pengajuan menu lama ini menandakan para pembentuk Undang-Undang kehilangan kreativitas dalam menggali masalah yang ada di MK, khususnya mengenai hukum acara dan kewenangan MK," jelas Akbar.

Akbar yang sempat nyaleg dari partai NasDem menyebut Revisi RUU MK kali ini tetap elitis, di saat MK terbelit segudang masalah yang seharusnya diselesaikan terlebih dahulu.

Sayang seribua sayang, kata Akbat, RUU MK ini menghindarkan diri dari penyelesai masalah, sekaligus menjauhkan diri dari optimalisasi akses keadilan bagi rakyat di lembaga keramat.

Ia menyebut revisi terhadap sebuah produk hukum memang keniscayaan, namun harus memperhatikan 2 (dua) hal utama, yakni materi dan prosedur.

Revisi harus didukung dengan materi yang berbobot, membawa perubahan serta kemajuan, dan menyelesaikan masalah di masa lalu dengan sebuah solusi.

Revisi juga harus dilaksanakan dengan prosedur yang benar sesuai peraturan perundang-undangan, memahami skala prioritas, dan membuka partisipasi pada semua lini.

"Apabila revisi ditopang dengan 2 (dua) hal ini maka produk hukum dan MK akan mendapat legitimasi kuat. Sayangnya RUU MK ini nihil dari 2 (dua) hal tersebut," ungkapnya.

Jika RUU ini tetap dipertahankan, Akbar menyebut lonceng kematian demokrasi segera berbunyi, karena kuasa legislasi patuh dengan instruksi oligarki yang sembunyi dari permukaan publik.

"Melihat perjalanan penyusunan RUU MK yang super kilat dan penuh akrobat, tak ada alasan untuk menerima RUU ini. Para pembentuk Undang-Undang harus menghentikan proses jalannya RUU MK ini," tegas Akbar Faizal.

KEYWORD :

RUU MK Nagara Institute Akbar Faizal Prolegnas




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :