Kamis, 25/04/2024 05:57 WIB

HR Rasuna Said, Putri Minang yang Dipenjara Belanda Karena Vokal

Rasuna Said dikenal dengan tulisan-tulisannya yang tajam. Pada tahun 1935, ia pemimpin redaksi majalah Raya.

HR Rasuna Said

Jakarta, Jurnas.com - Sosok pahlawan nasional, HR Rasuna Said memang sudah sangat dikenal. Terlebih namanya disematkan pada nama jalan protokol di kawasan elit Kuningan, Jakarta Selatan.

Namun jarang orang tau, HR Rasuna Said adalah putri asal minangkabau yang pernah dipenjara oleh penjajah Belanda karena sangat kritis dan vokal.

Akronim HR di depan namanya adalah Hajjah Rangkayo, sosok wanita asli Minang, tepatnya dari Maninjau, Agam, Sumatera Barat.

Hajjah Rangkayo Rasuna Said lahir di Maninjau, Agam, Sumatra Barat, 14 September 1910 – meninggal di Jakarta, 2 November 1965 pada umur 55 tahun. Ia adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia dan juga merupakan pahlawan nasional Indonesia.

Ia dikenal sebagai pejuang Islam dan perempuan pertama yang dipenjara penjajah Belanda dengan delik ujaran kebencian pada masa itu.

Dalam perjuangannya, HR Rasuna Said dikenal lantang bersuara, seorang orator, pandai berpidato, dan karenanya ia perempuan pertama yang kena delik semacam UU ITE pemerintah kolonial Belanda.

Ia juga seorang jurnalis dengan tulisan-tulisannya yang tajam. Ia memimpin majalah yang dikenal radikal.

H.R. Rasuna Said dilahirkan pada 14 September 1910, di Desa Panyinggahan, Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Ia merupakan keturunan bangsawan Minang. Ayahnya bernama Muhamad Said, seorang saudagar Minangkabau dan bekas aktivis pergerakan.

Setelah menamatkan jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD), Rasuna Said, seorang gadis remaja, dikirimkan sang ayah untuk melanjutkan pendidikan di pesantren Ar-Rasyidiyah.

Saat itu, ia merupakan satu-satunya santri perempuan. Dikenal sebagai sosok yang pandai, cerdas, dan pemberani. Rasuna Said kemudian melanjutkan pendidikan di Diniyah Putri Padang Panjang, dan bertemu dengan Rahmah El Yunusiyyah, seorang tokoh gerakan Thawalib. Gerakan Thawalib adalah gerakan yang dibangun kaum reformis Islam di Sumatra Barat.

HR Rasuna Said sangatlah memperhatikan kemajuan dan pendidikan kaum wanita, ia sempat mengajar di Diniyah Putri sebagai guru.

Namun pada tahun 1930, Rasuna Said berhenti mengajar karena memiliki pandangan bahwa kemajuan kaum wanita tidak hanya bisa didapat dengan mendirikan sekolah, tetapi harus disertai perjuangan politik.

Rasuna Said kemudian mendalami agama pada Haji Rasul atau Dr H Abdul Karim Amrullah yang mengajarkan pentingnya pembaharuan pemikiran Islam dan kebebasan berfikir yang nantinya banyak mempengaruhi pandangan Rasuna Said.

Perjuangan Politik
Awal perjuangan politik Rasuna Said dimulai dengan beraktivitas di Sarekat Rakyat (SR) sebagai Sekretaris cabang.

Rasuna Said kemudian juga bergabung dengan Soematra Thawalib dan mendirikan Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI) di Bukittinggi pada tahun 1930.

Ia juga ikut mengajar di sekolah-sekolah yang didirikan PERMI dan kemudian mendirikan Sekolah Thawalib di Padang, dan memimpin Kursus Putri dan Normal Kursus di Bukittinggi.

Rasuna Said sangat mahir dalam berpidato, terutama mengecam pemerintahan Belanda. Ia tercatat sebagai wanita pertama yang terkena hukum Speek Delict, yaitu hukum kolonial Belanda yang menyatakan bahwa siapapun dapat dihukum karena berbicara menentang Belanda.

Rasuna Said sempat ditangkap bersama teman seperjuangannya Rasimah Ismail, dan dipenjara pada tahun 1932 di Semarang. Setelah keluar dari penjara, Rasuna Said meneruskan pendidikannya di Islamic College pimpinan KH Mochtar Jahja dan Dr Kusuma Atmaja.

Jurnalis
Rasuna Said dikenal dengan tulisan-tulisannya yang tajam. Pada tahun 1935, ia menjadi pemimpin redaksi di sebuah majalah, Raya. Majalah ini dikenal radikal, bahkan tercatat menjadi tonggak perlawanan di Sumatra Barat.

Polisi rahasia Belanda (PID) pun mempersempit ruang gerak Rasuna dan kawan-kawan. Sedangkan tokoh-tokoh PERMI yang diharapkan berdiri melawan tindakan kolonial ini, justru tidak bisa berbuat apapun. Rasuna sangat kecewa. Ia pun memilih pindah ke Medan, Sumatra Utara.

Pada tahun 1937, Rasuna mendirikan perguruan putri di Medan. Untuk menyebar-luaskan gagasan-gagasannya, ia membuat majalah mingguan bernama Menara Poeteri.

Slogan koran ini mirip dengan slogan Bung Karno, “Ini dadaku, mana dadamu”. Koran ini banyak berbicara soal perempuan. Meski begitu, sasaran pokoknya adalah memasukkan kesadaran pergerakan, yaitu antikolonialisme, di tengah-tengah kaum perempuan.

Rasuna Said mengasuh rubrik “Pojok”. Ia sering menggunakan nama samaran: Seliguri, yang konon merupakan nama sebuah bunga. Tulisan-tulisan Rasuna dikenal tajam, kupasannya mengena sasaran, dan selalu mengambil sikap lantang antikolonial.

Sebuah koran di Surabaya, Penyebar Semangat, pernah menulis perihal Menara Poetri ini, “Di Medan ada sebuah surat kabar bernama Menara Poetri; isinya dimaksudkan untuk jagad keputrian. Bahasanya bagus, dipimpin oleh Rangkayo Rasuna Said, seorang putri yang pernah masuk penjara karena berkorban untuk pergerakan nasional.”

Setelah Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan Indonesia, Rasuna Said aktif di Badan Penerangan Pemuda Indonesia dan Komite Nasional Indonesia.

Rasuna Said duduk dalam Dewan Perwakilan Sumatra mewakili daerah Sumatra Barat setelah Proklamasi Kemerdekaan. Ia diangkat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS), kemudian menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung setelah Dekret Presiden 5 Juli 1959 sampai akhir hayatnya.

Ia wafat akibat penyakit kanker darah pada tanggal 2 November 1965 di Jakarta.

Rasuna Said diangkat sebagai salah satu Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 084/TK/Tahun 1974 tanggal 13 Desember 1974.

Namanya sekarang diabadikan sebagai salah satu nama jalan protokol di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, serta di daerah asalnya di Padang, Sumatra Barat. (Arsip Sejarah/Berbagai Sumber)

KEYWORD :

Hajjah Rangkayo Rasuna Said UU ITE Penjajah Belanda




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :