Rabu, 24/04/2024 06:45 WIB

Kolom Muhammad Ridwan*

Antonio Conte dan Peluang Juara

Conte sukses mengembalikan kejayaan Juventus. Di bawah besutannya, Juventus menjuarai seri A Liga Italia tiga kali berturut-turut.

Antonio Conte (standard.co.uk)

Italia merupakan negara yang tidak pernah kehilangan stok pelatih terbaik dunia. Bukah hanya timnasnya saja yang memiliki tradisi juara dalam turnamen-turnamen akbar, pelatih asal Italia ini juga memiliki rekor sangat impresif kala menangangi klub-klub besar Eropa. Sebut saja misalnya Giovanni Trapattoni, Fabio Capello dan Carlo Ancelotti. 

Belakangan, nama yang diprediksi bisa meneruskan jejak langkah pendahulunya adalah Antonio Conte. Sukses besar di level domestik, Conte mencari tantangan baru di luar tanah kelahirannya. Yang dituju adalah Liga Primer Inggris, sebuah liga yang menyuguhkan kompetisi sepakbola profesional paling ketat di muka bumi. Dia menerima tawaran kursi panas menjadi manager Chelsea. 

Conte sukses mengembalikan kejayaan Juventus. Di bawah besutannya, Juventus menjuarai seri A Liga Italia tiga kali berturut-turut. Hatrick scudetto ini merupakan puncak pencapaian prestasi yang mencengangkan. 

Di musim debutnya menangani La Vecchia Signora, Conte memecahkan rekor tidak pernah terkalahkah. Dari total 38 pertandingan yang dilakoni, Juventus tidak menelan satu kekalahan pun. Di akhir musim, Conte mengantar Juventus bertengger di puncak klasemen dengan raihan poin yang sempurna. 

Tapi tren positif kepelatihanya tidak berlanjut di turnamen akbar Piala Eropa 2016 yang digelar dua bulan lalu. Conte gagal membawa Italia menembus partai final. Kegagalan itu tidak membuat namanya tercoret dari daftar pelatih besar. 

Kendati Gli Azzurri pulang tanpa membawa tropi, Conte disebut-sebut piawai meracik tim yang tidak bertabur pemain bintang. Tanpa diperkuat sederet pemain sarat pengalaman seperti Andrea Pirlo, Claudio Marchisio, Marco Verratti, dan Riccardo Montolivo, Italia mampu menjadi kesebelasan yang tampil kompetitif. 

Hanya Gianluigi Buffon dan Giorgio Chellini yang sudah langganan mengenakan kostum biru langit. Satu lagi nama besar yang ikut dibawa Conte ke Prancis, yaitu Daniele De Rossi. Sayang pemain veteran ini tidak bisa berkontribusi maksimal karena terkendala kebugaran fisik. Akibat cedera pinggang saat kontra Spanyol, dia ditarik keluar pada menit ke 54 dan tidak bisa diturunkan di perempatfinal melawan Prancis.    

Selebihnya komposisi skuad diisi oleh muka-muka baru yang jarang terdengar namanya. Mereka hanyalah pemain yang bergabung dengan klub medioker. Ditambah lagi, jam terbang mereka bermain di level internasional sangat minim. Rata-rata mereka memegang caps bersama timnas senior di bawah 15 kali. 

Tidak berlebihan kalau skuad Gli Azzurri yang berlaga di Piala Eropa 2016 disebut sebagai yang terburuk sepanjang sejarah sepakbola Italia. Tapi berkat kecermatan dan kejeniusan Conte dalam menerapkan taktik, Italia mampu menjadi tim yang sulit ditaklukkan.  

Conte berhasil memadukan para pemain. Perpaduan antar pemain terbangun sepanjang turnamen. Strategi sang juru taktik yang sangat menekenkan kolektivitas tim bisa diterjemahkan dengan baik oleh Buffon dan kawan-kawan di atas lapangan. 

Italia betul-betul menjadi kekuatan yang diorganisir oleh sebelas pemain. Dengan kata lain, Italia adalah kesebelasan yang kuat karena dibangun oleh kerjasama antar lini yang padu dan solid. Apa yang kita lihat dari permainan Italia bukanlah satu, dua pemain dengan skill individu yang menonjol. Yang menonjol adalah sisi kolektivitas permainannya. 

Keikutsertaan Italia di turnamen empat tahunan ini sempat diragukan banyak pihak. Jangankan difavoritkan menjadi kandidat juara, timnas asal Negeri Pizza ini tidak masuk dalam jajaran tim unggulan. Prancis, Jerman, Belgia, Spanyol, Portugal dan Inggris mendapat tempat di pot atau unggulan 1, sementara Italia hanya berada di pot 2.     

Di luar dugaan, Italia yang tidak diunggulkan sukses menghajar Belgia di partai perdana dengan skor meyakinkan 2-0. Sebelum laga dihelat, banyak pihak menjagokan Belgia. Maklum, Belgia bermaterikan generasi emas seperti Kevin de Bruyne, Romelu Lukaku, Eden Hazard dan Jan Vertonghen. Kemenangan ini mengembalikan marwah Italia sebagai tim yang layak disegani dan dihormati. 

Di tangan Conte pulalah, dominasi Spanyol atas Italia berhasil dipatahkan. Menilik statistik head to head antar kedua tim dalam lima laga terakhir, Italia tidak pernah memetik kemenangan. Tim Biru Langit hanya bisa menahan seri sebanyak tiga kali. Dua laga sisanya, dimenangkan oleh La Furia Roja.

Dalam laga sengit yang tersaji di Stade de France di Saint-Denis, Paris, anak asuh Conte berhasil mempermalukan Spanyol dua gol tanpa balas. Memori manis kemenangan Sergio Ramos di final Piala Eropa 2012 yang menggilas Italia dengan skor 4-0 tidak terulang. Sang juara bertahan harus tersingkir dan sekaligus memuluskan langkah Italia melaju ke perempat final.

Kemenangan atas Belgia di laga pembuka grup E menjadi modal yang sangat penting bagi Conte kala menghadapi Spanyol. Belgia dan Spanyol punya tipikial permainan yang mirip. Gaya permainan kedua tim ini berbasis pada penguasaan bola yang dominan.

Tapi skuad asal Negeri Matador jauh lebih berpengalaman. Lini tengah anak asuh Vicente del Bosque bermaterikan pemain yang punya intelegensi tinggi mengkreasi serangan. Bukan rahasia lagi kalau lini tengah ini menjadi faktor kunci keberhasilan Spanyol melumat lawan-lawannya.

Di lini tengah inilah, Conte menerapkan taktik kompaksi dimana jarak antar pemain begitu rapat. Taktik ini tidak hanya membuat pasukannya solid menjaga kedalaman tapi juga cekatan mematikan pergerakan Iniesta, Fabregas dan Silva. Ketiga pemain ini kehilangan daya kreatifivitasnya membuka celah dan memberikan umpan matang.  

Taktik ini berjalan nyaris tanpa cacat karena Conte menempatkan lima gelandang di sektor tengah. Kerapatan antar pemain benar-benar terjaga. Dengan taktik ini, Italia tidak hanya fokus bertahan. 

Barisan tengah yang dikawal Florenzi, Giaccherini, De Sciglio, Parolo dan De Rossi bergerak dinamis. Lima gelandang ini tidak saja aktif membantu mengamankan zona pertahanan, tapi juga berani menekan pemain Spanyol yang memainkan bola di area pertahanannnya. Keberanian melakukan defensive forward ini cukup efektif mengganggu Sergio Busquet dalam memulai serangan dari bawah. 

Barisan lini tengah yang rapat menjadi semakin kuat karena disokong oleh lini pertahanan yang kokoh. Andrea Barzagli, Leonardo Bonucci, dan Girgio Chiellini tidak terlihat frustasi sekalipun timnya mendapat tekanan. Trio bek Italia ini memiliki mentalitas tangguh menghadapi gempuran dari lini depan kubu lawan. Italia di bawah Conte menunjukkan kelasnya sebagai tim dengan kualitas pertahanan terbaik. 

Di luar kemampuan taktik, Conte adalah tipikal manager pekerja keras. Jarang pria kelahiran 31 Juli 1969 ini duduk manis di pinggir lapangan. Dia kerap berteriak untuk memberikan motivasi dan membangkitkan semangat. Menurutnya, teriakan itu bisa mentransfer gairah ke dalam tubuh tim.

Conte sukses memoles Italia menjadi kesebelasan yang kuat dan bertenaga. Skuad Gli Azzuri tampil dengan intensitas tinggi. Tenaga mereka seperti tidak pernah terkuras dalam mengejar bola dan menekan lawan. Italia tercatat sebagai tim dengan jarak tempuh lari yang sangat tinggi. Dari laga perdana hingga babak 16 besar, tim asal Negeri Pizza ini berlari sejauh 446.445 kilometer. Jumlah ini menempatkan pasukan Conte berada di urutan kedua di bawah Jerman dengan total jarak tempuh lari sejauh 455.056 kilometer. 

 

Peluang Juara

Sudah cukup lama Conte mendambakan tropi bergengsi di level Eropa. Mentereng dengan gelar di tingkat domestik tidak membuat dirinya puas. Dia ingin mencapai prestasi puncak sebagaimana dibukukan manager-manager top dunia.

Di musim 2016-2017 ini, dia harus menunda dulu keinginan itu. Chelsea, klub yang saat ini diasuhnya, gagal mendapat tiket berkiprah di kompetisi Benua Biru, baik di Liga Champions maupun di Liga Europa. Musim lalu, Chelsea terdampar di urutan 10. Ini sekaligus menjadi sejarah buruk dimana untuk pertama kalinya Chelsea tidak masuk “The Big Four” di era Roman Abramovich.

Absennya The Blues di Liga Champions membuat Conte bisa fokus merebut gelar Liga Primer. Dibandingkan rival-rivalnya seperti Manchester City, Arsenal, MU, Tottenham, dan Leicester City, Chelsea berada dalam posisi yang diuntungkan. Eden Hazard dan kawan-kawan tidak menjalani serangkaian pertandingan yang padat. 

Anak asuh Conte pasti punya stamina lebih prima. Tenaga mereka tidak akan banyak terkuras habis lantaran hanya melakoni laga di level domestik. Apakah dampak positif dari tidak lolosnya Chelsea ke zona Liga Champions membuka peluang lebar bagi Conte menjuarai Liga Inggris? 

Membawa pulang tropi Liga Inggris ke Stamford Bridge tentu bukan perkara mudah. Berkah ketidakikutsertaan The Blues di kompetisi Eropa harus disertai dengan persiapan tim yang matang dan sempurna. 

Sentuhan Conte di tubuh tim mulai terlihat terutama dalam hal ketajaman dan produktivitas gol. Sepanjang lima pekan pertama Liga Primer, Chelsea sudah mengoleksi 10 gol. Diego Costa kembali menjadi predator yang mematikan. Striker berdarah Brazil ini menyumbangkan 5 gol dan tercatat sebagai tops skorer sementara bersama Michael Antonio. 

Hanya saja, Conte perlu mengingatkan agar penyerang andalannya ini bisa mengontrol emosi di atas lapangan. Gaya bermain Costa yang agresif dan kerap memprovokasi lawan dengan permainan kasar bisa menjadi bumerang. Akibat sikapnya yang temperamental, wasit tidak segan-segan mengganjarnya dengan kartu kuning. Tidak mustahil, akibat akumulasi kartu Costa tidak bisa diturunkan di laga-laga penting. 

Conte juga terbilang sukses memoles lini tengah. Conte berhasil mengembalikan Eden Hazard ke performa terbaiknya. Setelah musim lalu meredup, kini pemain Belgia ini menemukan kembali gairah dan kepercayaaan dirinya. 

Conte memberinya keleluasaan. Dengan aksi dribelnya yang sulit dihentikan, Hazard tidak saja bermain melebar, tapi diminta berperan aktif mencetak gol. Dalam laga ketiga kontra Burnley, Hazard membuka kemenangan dengan gol menawan. Dia berani menerobos pertahanan dan melepaskan tendangan datar ke tiang jauh.  

Perubahan taktik di lini tengah juga terlihat dengan memosisikan Oscar bermain lebih ke dalam. Oscar cukup cepat beradapatasi dengan peran barunya ini. Perannya menjaga keseimbangan tim dijalankan dengan baik. Dia menjadi sosok kunci yang bertugas membantu timnya baik saat menyerang maupun bertahan. 

Titik krusial yang gagal dibenahi Conte adalah sektor pertahanan. Di laga pembuka saja, gawang Chelsea sudah tidak perawan. Courtois kembali gagal menjaga gawangya dari kebobolan baik saat melawan Watford, Swansea dan Liverpool. Hanya di pekan ketiga, anak buah Conte berhasil memetik catatan clean sheet.

Sejauh ini, sudah 6 gol yang bersarang ke gawang Chelsea. Kesuksesan Conte meramu Italia menjadi tim dengan kualitas pertahanan terbaik gagal dia tularkan ke Chelsea. Conte harus berpikir keras bagaimana menata lini pertahanannya. 

Salah satu sebab kegagalan Chelsea menembus The Big Four musim lalu terletak pada keroposnya lini belakang. Anehnya, The Blues tidak bermanuver cepat untuk memburu bek tengah yang tangguh pada bursa transfer musim panas 2016. 

Tidak ada opsi lain ketika Conte gagal mendatangkan Kalidou Koulibaly (Napoli) dan Alessio Romagnoli (AC Milan). Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah memulangkan kembali David Luiz ke Stamford Bridge. Itupun dilakukan di hari terakhir bursa transfer. 

Dengan bergabungnya Luiz, Conte tetap tidak memiliki pasukan lini pertahanan yang ideal. Luiz kerap melakukan blunder baik saat membela PSG maupun Brazil. Sementara John Terry, Branislav Ivanovic dan Gary Cahill tergolong pemain veteran. Dengan stok pemain belakang yang terbatas ini, Conte harus memutar otak meracik strategi pertahanan yang kokoh supaya timnya tidak mudah kebobolan.

*Pemerhati sepakbola, alumni IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

KEYWORD :

Antonio Conte M Ridwan




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :