Jum'at, 19/04/2024 10:52 WIB

Suka Duka Kemitraan Petani Tembakau

Persolan lain yang juga masih terjadi di lapangan  ialah tidak adanya saksi dari pihak pemerintahan dalam pembuatan kontrak antara petani tembakau dan perusahaan

Pohon tembakau yang sudah berusia 1,5 bulan di Desa Ngampel Kulon, Kecematan Ngampel, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. (Foto: Supi/Jurnas.com)

Jakarta, Jurnas.com - Akademisi Institut Pertanian Bogor (IPB) Prima Gandhi membeberkan sejumlah persoalan kemitraan tembakau yang masih jadi tugas rumah pemangku kepentingan di negeri ini.

Prima Gandhi mengatakan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB bekerja sama dengan Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) pada 2019 melakukan kajian kemitraan dalam pertanian tembakau di Jawa Tengah dan Jawa Timur

Hasil riset tersebut menyimpulkan, skema kemitraan di setiap wilayah penelitian sangat beragam. Di antara faktor mempengaruhi keberagaman itu ialah jenis tembakau, jenis varietas, kondisi wilayah dan kebijakan perusahaan mitra.

Terlepas dari beragamnya skema kemitraan ternyata yang masih kerap bermasalah ialah pada pembuatan kontrak, khusu pada penentuan grading. Meskipun, hak dan kewajiban para pelaku kemitraan relatif sesuai dengan kontrak.

"Jadi penentuan grading tembakau itu penentuan jenis kualitas masih secara manual. Ada namanya grader yang memegang, meraba, mencium tembakau petani. Jadi subjektivitasnya masih tinggi. Nah, itu kadang-kadang yang dikeluhkan oleh para petani," ujar Prima Gandhi kepada jurnas.com, Jumat (10/7).

"Diharapkan ke depannya ada alat grading yang bisa objektif, jadi tahu berapa kadar nikotin itu semua bisa diketahui pake alat, jadi tidak subjektif," sambungnya.

Selain itu, petani ternyata tidak memiliki salinan kontrak kemitraan dengan perusahaan. Karean itu, diharapkan depannya petani juga diberikan salinan kontrak yang ditandatangani.

Persolan lain yang juga masih terjadi di lapangan, kata Prima Gandhi, ialah tidak adanya saksi dari pihak pemerintahan dalam pembuatan kontrak antara petani tembakau dan perusahaan

"Kami mengusulkan agar pemerintah yang bisa menjadi saksi ketika ada kontrak harga dan juga kualitas antara petani dengan perusahaan, sehingga tidak ada kesalahpahaman, ketidaksesesuaian, pemerintah bisa menjadi wasit yang adil," kata Prima Gandhi.

Kabar baikanya, ternyata kesejahteraan petani yang bermitra dengan perusaan lebih tinggi dibandingkan petani yang tidak ikut kemitraan. Faktor yang mempengaruhi adalah adalah produktivitas tembakaunya.

"Jadi jumlah tembakaunya lebih banyak karena yang mitra ini biasanya didampingi perusahaan mitranya. Misalnya kemarin petani di Temanggung yang kontrak PT Sadana. Ketika petani menanam tembakau dilihat oleh orang sadana, dia bener gak memberikan dosis pupuknya," jelasnya.

"Jadi ketika dia bermitra dan berkontrak ada yang memantau, mengawasi. Sehingga walaupun sama-sama ditanam jenis tembakau yang sama pada lahan 2.000 meter itu lebih produktif tanaman tembakau di petani yang memiliki kemitraan," sambungnya.

Selanjutnya, petani merasakan manfaat kemitraan terutama dalam hal efisiensi usaha tani, akses teknologinya lebih mudah, mempraktekanGood Agriculture Practice, ada kepastian pasar untuk penjualan hasil panen, akse informasi pasar, dan kemudahan input produksi.

"Jadi dia lebih efisiensi dalam usaha tani, akese teknologinya juga lebuh bagus karena ketika ada informasi teknologi yang baru itu langsung diberitahu pendamping dari perusahan mitranya," sambungnya.

KEYWORD :

Petani Tembakau Panen Tembakau Akademisi IPB Prima Gandhi




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :