Jum'at, 26/04/2024 03:16 WIB

Respons Kemenlu soal Jasad ABK Indonesia yang Dilarung Disebut Normatif

Sebelumnya, ribuan pekerja migran Indonesia yang bekerja sebagai ABK di kapal-kapal pesiar juga menjadi korban penularan virus corona baru (COVID-19), baik tertular penyakitnya maupun kehilangan pekerjaannya.

Detik-detik pelaurang mayat ABK Indonesia ke laut. (Foto: MBC)

Jakarta, Jurnas.com - Media sosial dihebohkan penderitaan para pekerja migran Indonesia yang bekerja sebagai Anak Buah Kapal (ABK) di kapal pencari ikan berbendera China, yaitu Long Xin 605, Long Xin 629 dan Tian Yu 8.

Terkait hal ini, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) sudah mengeluarkan sikap, namun hingga saat ini belum ada respons dari Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.

Migrant CARE menilai respons Kemenlu hanya bersifat normatif karena belum menukik pada pokok persoalan apakah sudah ada desakan bagi investigasi pelanggaran hak asasi manusia, juga belum ada pernyataan tegas untuk memastikan pemenuhan hak-hak ABK tersebut.

"Migrant CARE mendesak Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia untuk bersikap proaktif memanggil para agen pengerah ABK tersebut untuk meminta pertanggungjawaban," ujar Direktur Eksekutif Migrant CARE, Wahyu Susilo dalam keterangan tertulisnya diterima jurnas.com, Kamis (7/5).

Sebelumnya, viral di media sosial vidoe yang menggambarkan penderitaan para pekerja migran Indonesia yang bekerja sebagai ABK di kapal ikan berbendera China, Long Xin 605 dan Tian Yu 8 yang beberapa hari lalu berlabuh di Busan, Korea Selatan.

Sebelumnya, ribuan pekerja migran Indonesia yang bekerja sebagai ABK di kapal-kapal pesiar juga menjadi korban penularan virus corona baru (COVID-19), baik tertular penyakitnya maupun kehilangan pekerjaannya.

Menurut catatan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), sudah lebih dari 6000 ABK mengalami pemutusan hubungan kerja.

Kerentanan pekerja migran Indonesia di sektor kelautan dan perikanan memang bukan hal yang baru. Global Slavery Index yang dikeluarkan Walk Free 2014-2016 juga menempatkan pekerja migran di sektor kelautan dan perikanan sebagai praktek perbudakan modern yang terburuk.

Dalam pemeringkatan ini, terhitung ada ratusan ribu ABK Indonesia di kapal-kapal penangkap ikan berada dalam perangkap perbudakan modern. Jika kondisi tersebut masih berlangsung sampai sekarang, maka situasi memang belum berubah dan ini tentu sangat menyedihkan.

Wahyu Susilo mengatakan, Pemerintah Indonesia pernah terlibat dalam upaya pemerangi perbudakan di sektor kelautan, terutama pada jaman Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudiastuti.

Namun inisiatif tersebut lebih banyak menyangkut soal praktek ini di perairan Indonesia, dipicu kasus perbudakan di kapal ikan di perairan Benjina, kepulauan Maluku, bukan pada nasib pekerja migran Indonesia sebagai ABK di kapal-kapal pencari ikan berbendera asing.

Inisiatif ini pun tidak mendapat dukungan signifikan dari Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Perhubungan atau BNP2TKI (waktu itu, sekarang menjadi BP2MI). Dalam perkara ini Kemenlu juga mengalami kesulitan dalam penanganan kasus terkait juridiksi perkara.

Bisa dibayangkan jika kasus terjadi di kapal pencari ikan berbendera A, pemiliknya adalah warga negara B dan kasusnya terjadi di lautan dalam otoritas negara C atau di laut bebas.

"Namun apapun situasinya seharusnya negara hadir dalam memberikan perlindungan terhadap anak buah kapal Indonesia," tegas Wahyu Susilo.

Kerentanan para pekerja migran Indonesia di sektor kelautan dan perikanan juga dipicu oleh ketiadaan instrumen perlindungan yang memadai sebagai payung perlindungan bagi mereka.

Meskipun UU No. 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia mengamanatkan adanya aturan khusus mengenai Pelindungan Pekerja Migran Di sektor Kelautan dan Perikanan, namun hingga saat ini aturan turunan tersebut belum terbit.

Bahkan, terlihat ada kecenderungan berebut kewenangan antara Kementerian Perhubungan, Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan pelindungan Pekerja Migran Indonesia.

"Politik luar negeri dan diplomasi juga belum maksimal dalam memperjuangkan penegakan hak asasi pekerja migran di sektor kelautan dan perikanan, terkait dengan implementasi dan komitmen antar negara dalam pelindungan pekerja di sektor kelautan," ujar Wahyu Susilo.

 

KEYWORD :

Pekerja Migran Indonesia ABK Indonesia Dilarung Migrant CARE Wahyu Susilo




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :