Sabtu, 20/04/2024 04:06 WIB

Ini Penyebab Simulus Ekonomi Pemerintah Gagal

Tax ratio Indonesia masih sangat rendah. Sayangnya, untuk meningkatkan tax ratio pemerintah justru mengejar tax amnesty. Ini seperti berburu di kebun binatang

Pemerintah dinilai tak memiliki sense of crisis dalam membangun perekonomian Indonesia. Direktur Eksekutif Indef, Enny Sri Hartarti menyampaikan ulasan tentang kegagalan itu.

Menurut Enny, saat ini Indonesia mengalami perlambatan ekonomi, dan pemerintah  memang harus memberikan stimulus karena hasrat konsumsi dan daya produksi menurun. Ini bisa diterjemahkan dengan meningkatkan belanja pemerintah.

"Nah untuk meningkatkan belanja pemerintah, maka pemerintah harus meningkatkan pendapatan. Cara yang ditempuh pemerintah dengan menggenjot pendapatan pajak. Ini justru membuat konsumsi turun yang menyebabkan daya produksi juga turun,” ujar Enny dalam analisis yang diterima jurnas.com, Kamis (4/8).

Dalam kondisi seperti ini, lanjut Enny, pemerintah harus memikirkan jalan keluar sehingga bisa menjaga konfiden masyarakat untuk konsumsi dan produksi.

Cara yang diambil pemerintah adalah dengan meningkatkan defisit dan menambah utang untuk pembiayaan.

"Sampai di sini semua sudah on the track. Menjadi tidak on the track karena ternyata utang yang diambil dan defisit yang ditempuh tidak memiliki efektivitas terhadap belanja dan stimulus,” jelasnya.

Menurut Enny, jika misalnya menambah defisit dan menambah utang bisa menstimulus perekonomian, maka ini masih bisa dipertanggungjawabkan. Namun langkah-langkah itu tidak berdampak.

”Hal ini karena kebijakan fiskal pemerintah itu masih seperti bisnis as usual yang bisa dilihat dari postur APBN. Padahal ketika krisis maka belanja yang tidak memberikan efek stimulus seperti belanja pegawai harusnya dikurangi,” tegasnya.

Sementara dari sisi pendapatan, kata Enny, tax ratio Indonesia masih sangat rendah. Namun sayangnya untuk meningkatkan tax ratio pemerintah justru mengejar tax amnesty. Ini seperti berburu di kebun binatang.

"Orang-orang yang selama ini sudah taat pajak justru yang dikejar-kejar. Yang patuh pun kemudian jadi takut dan ini jadi kontraproduktif,” imbuhnya.

Kedua, dari sisi pendapatan, tax ratio ekonomi Indonesia sangat rendah, tapi meningkatkan pendapatan, berburu di kebun pendapatan. Meningkatkan pendapatan, yang patuh jadi takut, kontraproduktif utamanya terhadap sektor ril.

Enny menambahkan, sektor rill adalah yang paling terkena dampak karena selain konsumsi rumah tangga atau daya beli yang menurun lantaran harga yang naik, juga harus menghadapi beban high cost economy seperti target peningkatan pajak yang membebani.

"Berbagai kebijakan pun bukannya mengurangi persoalan malah semakin hari semakin menambah persoalan."

Untuk sektor perbankan yang tadinya masyarakat meletakkan dananya di deposito pemerintah mengeluarkan SBN dengan iming-iming bunga diatas deposito. Dana pun ditarik untuk membeli SBN sehingga perbankan harus perang diantara mereka untuk mendapatkan dana masyarakat.

"Bunga pun  naik. Ini semakin mempersulit sektor rill,” ujar Enny.

Enny tidak setuju jika saat ini pemerintah kembali hendak melebarkan defisit  dan hutang karena tidak pernah ada efektitivitas dalam belanja pemeritah. Selalu saja ada sisa anggaran atau silpa yang artinya daya serap masih rendah.

"Ini kan rugi dua kali karena anggaran dipinjam kemudian tidak digunakan," lanjutnya.

Kalau pun anggaran itu terserap, lanjut dia, maka paling baru terjadi dalam 3 bulan terakhir dan ini jelas tidak efektif. Jadi kalau mau efektif, semestinya dipilah lagi mana belanja yang harus dibelanjakan dan mana yang harus dipotong.

"Yang jelas belanja yang bisa menstimulus tidak boleh dipotong. Memang tidak bisa serta merta mendorong laju perekonomian,tapi paling tidak ganjalan-ganjalan kecil dapat dihilangkan. Ibaratnya parit yang mampet didorong dengan air yan besar untuk melancarkan,” kata Enny menutup ulasannya.

KEYWORD :

INDEF Enny stimulus ekonomi tax amnesty




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :