Sabtu, 20/04/2024 22:20 WIB

Putusan MA Soal Kasus BLBI Dinilai Objektif dan Adil

Keputusan majelis hakim Mahkamah Agung (MA) terkait pembebasan Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) soal kasus BLBI sebagai langkah yang objektif dan adil.

Ilustrasi Hukum

Jakarta, Jurnas.com - Keputusan majelis hakim Mahkamah Agung (MA) terkait pembebasan Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) soal kasus BLBI sebagai langkah yang objektif dan adil.

Penilaian itu disampaikan pengamat keuangan dan perbankan, Eko B. Supriyanto, kepada wartawan, Jakarta, Minggu (14/7). Menurutnya, hal itu merupakan keputusan yang maju karena diambil oleh hakim yang berpikiran bebas dan merdeka serta memiliki kejujuran, kejernihan hati dan pikiran.

"Para hakim agung telah membatalkan keputusan pengadilan tingkat pertama dan banding, karena mereka tidak hanya menerapkan hukum yang tersurat, melainkan juga yang tersirat, demi mewujudkan rasa keadilan", kata pendiri Infobank Institute itu.

Menurutnya, keputusan ini bisa menjadi yurisprudensi karena untuk pertama kali pengadilan memutus bebas terpidana korupsi dan mengalahkan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

SAT sebelumnya sudah dihukum 15 tahun oleh pengadilan banding, yang memperberat keputusan majelis tingkat pertama. Hampir tidak ada pengamat hukum, apalagi para aktifis anti korupsi, yang menduga SAT akan bebas.

"Para pemerhati umumnya meragukan keberanian para hakim dalam memutus perkara korupsi dengan anggapan bahwa mereka enggan mengambil resiko berhadapan dengan KPK. Kini anggapan tersebut terbantahkan," tegasnya.

Kepala Biro Humas MA, Abdullah, menyampaikan kepada media massa bahwa keputusan kasasi tersebut tidak bulat karena ada dissenting opinion.

"Jadi tidak bulat. Ketua majelis Dr Salman Luthan sependapat judex facti pengadilan tingkat banding. Hakim anggota I, Syamsul Rakan Chaniago, berpendapat bahwa perbuatan terdakwa merupakan perbuatan hukum perdata. Sedangkan anggota 2, Prof Mohamad Asikin, berpendapat bahwa perbuatan terdakwa merupakan perbuatan hukum adminsitrasi," kata Abdullah.

Dengan keputusan tersebut SAT melenggang keluar dari tahanan dan bisa menghirup udara bebas tanpa ada ketakutan akan disidangkan lagi dalam perkara dugaan penyalahgunaan wewenang yang menimbulkan kerugian Negara.

Sesuai ketentuan Kitab UU Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang sudah diperkuat dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi, jaksa tidak bisa lagi melakukan upaya hukum Peninjauan Perkara (PK). Dengan demikian maka keputusan pembebasan SAT sudah bersifat tetap (inkrach).

Lantas bagaimana dengan keputusan KPK terkait penetapan tersangka terhadap Sjamsul Nursalim (SN) dan istrinya, Itjih Nursalim (IN)?

Menurut Eko, ada beberapa hal yang menarik dan perlu sicermati dengan pikiran jernih. Pertama, kini tidak ada alasan lagi bagi KPK untuk melanjutkan perkara suami istri tersebut karena faktor utama yang dijadikan sandaran sudah hilang. KPK mendasarkan pada keputusan majelis hakim Tipikor bahwa SAT “bersama-sama” dalam melakukan kejahatannya.

"Kini MA telah membatalkan keputusan tersebut sehingga tidak ada alasan lagi untuk mentersangkakan SN dan istrinya," katanya.

Kedua, majelis kasasi menetapkan bahwa perkara ini bersifat perdata, bukan pidana. Karena itu, Pemerintahlah yang harus mempermasalahkan secara perdata jika memang ada kerugian dalam bentuk apapun.

"Hingga kini, Pemerintah tidak mempermasalahkan hal itu. Pemerintah sangat memahami duduk persoalan sebenarnya, bahkan mengakui tidak ada misrepresentasi sehingga tidak ada kerugian Negara," jelasnya.

Ketiga, keputusan kasasi tersebut memperkuat alasan bagi kuasa hukum SN untuk mempersoalkan dan menggugat audit investigatif BPK yang dinilai cacat hukum.

Audit tersebut dilakukan atas permintaan KPK sebagai dasar tuntutan pidana yang disangkakan kepada SAT, juga terhadap SN dan IN.

"Kini telah sangat tegas dinyatakan oleh hakim kasasi bahwa tidak ada unsur pidana dalam perkara ini. Maka relevansi hasil audit BPK tersebut sangat lemah," tegasnya.

KEYWORD :

Kasus BLBI Sjamsul Nursalim KPK




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :