Jum'at, 26/04/2024 03:12 WIB

Pemerintah Diminta Segera Bentuk Badan Pangan Nasional

Salah satu amanah dari UU Pangan adalah pemerintah wajib membentuk badan pangan nasional.

Anggota MPR dari Fraksi PAN, Viva Yoga dalam diskusi Empat Pilar MPR kerjasama Koordinatoriat Wartawan Parlemen dengan Biro Humas MPR di Media Center MPR/DPR/DPD, Gedung Nusantara III, Jakarta, Jumat (14/9).

Jakarta - Carut marut persoalan pangan, khususnya impor pangan, yang terjadi saat ini bermula dari tidak ditindaklanjutinya amanah UU No. 18 Tahun 2012 yaitu pemerintah wajib membentuk badan pangan nasional. Badan pangan ini berada langsung di bawah presiden dan memiliki kewenangan membentuk badan usaha dalam penyediaan pangan dan distribusi pangan.

Demikian disampaikan Viva Yoga Mauladi, anggota MPR dari Fraksi PAN, dalam diskusi `Strategi Mewujudkan Ketahanan Pangan` di Media Center MPR/DPR/DPD, Gedung Nusantara III, Komplek Parlemen, Jakarta, Jumat (14/9).

"Seharusnya badan pangan nasional itu sudah terbentuk pada Oktober 2015. Namun, sampai saat ini badan pangan nasional belum terealisasi," terang Viva Yoga.

Viva Yoga menjelaskan dari segi regulasi untuk mewujudkan ketahanan pangan sebenarnya sudah lengkap. Namun persoalannya adalah pada pelaksanaan dari regulasi itu yaitu peraturan di bawah UU sering terjadi kontradiksi.

"Misalnya, kebijakan Inpres atau peraturan menteri tidak mengambil spirit dari UU. Kebijakan di bawah UU itu sangat memungkinkan terjadinya abuse of power. Karena ada penyimpangan kekuasaan, yang kemudian dimanfaatkan sehingga tumbuh moral hazard di sekitar kebijakan itu," kata Wakil Ketua Komisi IV DPR ini.

Ia memberi contoh kebijakan impor beras. Kementan menyebutkan produksi beras surplus. Namun Kementerian Perdagangan menyebutkan terjadi kenaikan harga beras di pasar sehingga perlu impor beras. Dua kementerian mengajukan kebijakan yang berbeda.

Viva menyebutkan carut marut persoalan impor pangan ini berawal dari UU Pangan (UU No. 18 Tahun 2012) yang tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah saat ini.

Salah satu amanah dari UU Pangan adalah pemerintah wajib membentuk badan pangan nasional. Badan ini langsung di bawah presiden dan diberi kewenangan untuk membentuk badan usaha dalam penyediaan pangan, distribusi pangan.

"Seharusnya badan pangan nasional itu sudah dibentuk pada Oktober 2015, tapi sampai sekarang badan pangan nasional belum terealisasi," ujarnya.

"Kalau badan pangan nasional ini ada, saya sangat optimis tata niaga, mekanisme, prosedur, akan terorganisir dan mengurangi moral hazard, dan bisa meningkatkan ketahanan pangan nasional dan kesejahteraan petani serta nelayan," sambungnya.

Viva juga menyebutkan dari sisi anggaran Kementan saat ini rata-rata hanya 1 persen dari APBN. Dengan anggaran sebesar itu, Viva Yoga tidak yakin  ketahanan pangan akan terwujud.

"Untuk menuju pada ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan, Kementan yang bertanggungjawab di bidang pangan hanya mendapat anggaran 1 persen dari APBN. Apakah bisa dengan anggaran sebesar itu?" tanyanya.

"Singkatnya hal-hal yang terkait dengan persoalan pangan tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah. Seharusnya Kementan mendapat anggaran minimal 10 persen untuk bisa mewujudkan ketahanan pangan," tegasnya.

Sementara itu staf pengajar Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan IPB, Prima Gandhi menyebutkan masyarakat Indonesia belum bisa lepas dari ketergantungan pada beras sebagai bahan pangan pokok. Padahal Indonesia memiliki bahan pokok pangan lainnya seperti singkong, jagung, ubi. Namun setelah revolusi hijau, masyarakat tergantung pada bahan pokok beras.

"Kunci ketahanan pangan adalah gerakan diversifikasi pangan. Diversifikasi pangan belum menjadi perhatian Kementerian Pertanian. Kementan hanya berbicara soal inovasi dan infrastruktur pertanian," kata Prima Gandhi.

Karena itu, lanjutnya, ketahanan pangan di Indonesia bisa tercapai bila ada komplementer bahan makanan pokok. Kalau masih bergantung hanya pada beras maka ketahanan pangan sulit tercapai.

"Jadi kita harus mengarus-utamakan diversifikasi pangan lokal agar kita tak lagi tergantung pada impor beras," ujarnya.

KEYWORD :

Warta MPR pangan IPB Komisi IV




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :