Sabtu, 20/04/2024 10:27 WIB

Pengamat: Berita Hoax `Impotenkan` Akal

Penelitian tersebut menghitung jumlah 70 persen dari berita yang disebarkan di medsos merupakan berita hoax. 

Pengamat sosial media Mabroer Inwan

Jakarta – Sebuah penelitian yang dilakukan Massachuets Institute of Technology menyebutkan, penyebaran berita hoax lebih cepat dan lebih banyak dibandingkan berita benar. Hal ini bukan hanya disebabkan oleh kerja mesin atau bot, melainkan juga disebabkan oleh perilaku manusia.

Bahkan tercatat dari 2006 hingga 2017, penelitian tersebut menghitung jumlah 70 persen dari berita yang disebarkan di medsos merupakan berita hoax. Ini tak hanya merusak pikiran masyarakat, melainkan juga menyulitkan masyarakat untuk memilah antara fakta dan kebohongan.

Pengamat media sosial, Mabroer Inwan, menuturkan bahwa faktor semakin tinggi dan berkembangnya penyebaran berita hoax lantaran penyebarannya tak hanya dilakukan di kalangan masyarakat awam, namun orang-orang yang notabennya berpendidikan juga ikut serta dalam hal tersebut.

“Mari kita belajar dari kasus hoax belakangan ini, sebagian besar pembuat berita hoax tak lain adalah orang-orang berpendidikan, yang retorikanya meyakinkan bahkan kritis. Anehnya, bukan hanya berita hoax yg dibuat, tapi tidak sedikit orang berpendidikan juga termakan dengan berita hoax,” ujar Mabroer kepada Jurnas.com, Senin (12/03).

“Mungkin kita punya pengalaman di grup media sosial, sekelas Doktor hingga Profesor juga ikut membagikan berita atau konten hoax itu. Sekelas mereka saja termakan dgn berita hoax dan ikut menyebarkan hoax bagaimana mereka yg awam?” tanya pria asal Sulawesi Barat tersebut.

Mabroer menambahkan, orang-orang berpendidikan harusnya mampu menjadi suritauladan dan panutan bagi masyarakat awam dalam melawan penyebaran berita hoax. Namun faktanya, banyak yang memiliki wawasan dan punya jiwa kritis yang tinggi malah larut bahkan menjadi pelaku utama dalam penyebaran hoax. Ia bahkan menyebut orang-orang seperti itu layaknya seseorang yang sedang mengalami “impoten akal”.

“Mereka retoris, hebat, argumentatif di kampus dan sangat logis, namun ketika dihadapkan dengan teks hoax, kok daya kritis dan berpikir logisnya seolah lumpuh, layaknya seseorang yang terserang impoten dan tak bisa berbuat apa-apa,” tambahnya.

Magister Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta menilai bahwa tahun politik seperti sekarang ini menjadi lahan basah untuk menyebarkan berita hoax. Dan tentu yang akan menjadi korban dari fenomena tersebut adalah para pemuda (17-35), yang hampir 60 persen adalah pemilih pemula.

Pola pikir mereka akan terbentuk atas kebohongan-kebohongan yang sangat sering dan tergolong mudah diakses di media sosial. Menurutnya, tak jarang pemuda juga dijadikan alat untuk menyebarkan konten hoax.  

“60% lebih pemilih pemula usia 17-35 tahun, dan mereka ini adalah orang2 yang paling aktif di medsos. Maka alasan menentukan politik kemungkinan ditentukan oleh hoax itu,” lanjutnya.

“Tentu untuk men-counter hal tersebut dibutuhkan peran berpikir secara filosofis, agar tak mudah termakan dengan berita-berita yang belum jelas kebenarannya, sehingga tumbuh jiwa kritis untuk selalu meragukan konten-konten yang sarat akan hoax,” imbaunya.

KEYWORD :

Berita Hoax Pendidikan Kebohongan Pengamat




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :