Rabu, 17/04/2024 04:37 WIB

Opini

Guru Pejuang Vs Guru Matre

Mengajar adalah panggilan jiwa, bukan sekedar mengisi waktu kosong, apalagi menghilangkan predikat pengangguran.

Guru madrasah

Oleh: Ruchman Basori*

Dalam dunia pendidikan sesederhana apapaun, peran guru tak tergantikan, kendati teknologi pembelajaran sudah sangat canggih. Disadaari tugas guru tidak saja memindahkan ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), namun lebih dari itu adalah mengubah watak, menanamkan nilai dan menghunjamkan impian kepada para muridnya (transfer of value). Tugas mewariskan nilai-nilai moral, karakter dan akhlak nampaknya sulit tergantikan walaupun oleh teknologi informasi yang tercanggih.

Penting benar posisi guru, walau nasibnya belum dipentingkan oleh banyak kalangan, utamanya pemerintah. Guru masih menjadi komoditas politik apalagi menjelang suksesi kepemimpinan dan legislatif. Janji-janji mensejahterakan para pahlawan tanpa tanda jasa ini, melalui pemberian berbagai tunjangan dan fasilitas, pemberian beasiswa sampai kenaikan pangkat berlipat diketengahkan. Bagi sebagian guru, menganggapnya sebagai angin surga, tetapi sebagian yang lain itu hal yang biasa, momen lima tahunan, karena itu perilaku para politikus yang sedang mencari simpati. Kata yang pas digunakan adalah habis manis sepah di buang.

Guru Pejuang

Untung masih ada guru-guru yang di pagi buta berangkat ke madrasah/sekolah, mendidik dengan serius, tulus tanpa pamrih, menjadi pemandu para muridnya agar mereka cerdas, cakap dan bermoral. Menjadi tempat berkeluh kesah bagi para murid yang tengah dilanda berjibun masalah, bahkan menjadi penyelesai konflik yang ada di masyarakat dimana dia tinggal. Karena dia sadar, tugas guru tidak sekedar mengajar, tetapi juga harus pandai-pandai menjalankan peran sosialnya (kompetensi sosial). Inilah guru pejuang, yaitu mereka yang idealis, yang bekerja demi masa depan bangsa tanpa kenal lelah.

Dia tidak pernah berfikir datang ke madarsah untuk mendapatkan sesuatu yang bersifat material, karena mengajar dan mendidik bagi dia adalah pekerjaan mulia. Mendidik adalah tidak sekedar kewajiban, tetapi sebuah kebutuhan naluriah, panggilan jiwa yang bernilai perjuangan dan ibadah. Kedengarannya aneh, klise dan sok heroik di zaman yang serba matreliastis dan pragmatis seperti sekarang ini. Namun guru-guru yang masuk katagori ini masih banyak, utamanya dikalangan madrasah dan pondok pesantren, yang tinggal jauh dari keramaian.

Relevan apa yang dikatakan Robert Greenleaf, pemikir dari Amerika (1970) dengan teorinya servant leadership yaitu individu yang memerankan fungsi tertentu dalam sebuah organisasi dengan pengabdian total. Bahkan tanpa mempertimbangkan apakah memperoleh kompensasi atau tidak. Terori servant leadership menempatkan pelayanan publik sebagai hal utama dan pertama dilakukan. Dan itu telah diperankan oleh para guru pejuang tanpa pamrih kendatipun mengalami keterbatasan.

Di lubuk hati yang paling dalam tertanam jiwa dan semangat pengabdian (khidmah) untuk pendidikan, mencerdaskan anak bangsa, membikin generasi unggul dan menyiapkan para pemimpin (leader) bangsa ke depan. Guru seperti ini bukanlah malaikat yang tidak membutuhkan makan minum dan kebutuhan hidup lainnya, namun baginya kebutuhan bendawi itu sudah selesai. Prinsipnya adalah kesederhanaan, qanaah yang dalam bahasa jawa adalah narimo ing pandum.

Pertanyaannya, model pendidikan semacam apa yang diterapkan, sehingga melahirkan para guru pejuang, guru pengabdi, guru yang suka berkorban dan seabreg gelar keunggulan yang berorientasi pada kegiatan social dan berorientasi masa depan (hal-hal yang ukhrowi)?

Guru Matre

Sebaliknya di luar sana, kerap muncul sosok guru yang sangat materiaslistis. Berhitung untung rugi, dan mengharapkan keuntungan yang serba cepat tanpa melalui perjuangan yang panjang. Kalau saya rajin ke madrasah, kira-kira secara material akan mendapatkan apa? Bagi guru tipe matre, mengajar adalah suatu beban dan kewajiban yang harus dibayar. Mengajar harus dapat imbalan materi, jauh dari pengorbanan dan perjuangan.

Peserta didiknya mau jadi apa bukan soal, karena yang penting mengajar. Pintar-bodoh, baik-buruk perilaku para peserta didiknya, terampil dan bermotal atau tidak, bukanlah hal yang penting untuk menjadi perhatiannya. Mengejar pangkat dan kedudukan sampai sundul langit, mengejar banyak beasiswa dan fasilitas lainnya. Kerap menganggap tunjangan profesi sebagai tujuan utama sebagai dampak sertifikaasi guru yang diperolehnya. Walau kondisi ini sangat memprihatinkan, namun juga masih manusiawi, dan jamak terjadi di zaman yang serba materialistis seperti sekarang ini.

Para guru tidak dipandang sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, tetapi tenaga mekanik yang akan jalan jika ada baterei. Pendidikan akan terlihat konsumeristik karena taka ada uang tak akan ada pelayanan. Pada gilirannya masyarakat yang kurang mampu tidak dapat mengenyam pendidikan dengan baik karena dunia sekolah telah dihuni orang-orang yang materi. Benar jika nanti ada ungkapan “orang miskin di larang sekolah”.

Agaknya guru-guru baik, wira’i dan sederhana telah tertutup oleh model guru materislistik seperti itu. Mereka nyaring menyuarakan nasib dan kepentingannya, di atas mimbar-mimbar demonstrasi, atas nama profesionalitas, mengejar imbalan yang layak dan atas nama profesi juga harus mendapatkan haknya. Sementara model guru pejuang yang idealis, tertutup oleh meja-meja seminar, tidak ingin populer dan bersembunyi sibuk dengan urusan menjadikan anak Indonesia baik, cerdas dan penyongsong peradaban. Di keheningan malam, mereka mendoakan para muridnya yang nakal-nakal agar menjadi anak baik, mendoakan agar mereka pintar dan ilmunya bermanfaat untuk bekal di masa depannya.

Apapaun yang terjadi, pemerintah harus mempunya komitmen yang tinggi (good will), untuk membenahi pendidikan dari sisi guru. Bagaimana mereka ditingkatkan kapasitasnya, dicukupi fasilitasnya, dan disejahterakan hidupnya, sehingga mereka konsisten (istiqamah) mengabdi dan berkhidmah dalam dunia pendidikan. Lambat laun model guru pragmatis seperti di atas, akan berkurang dan digantikan oleh guru pejuang atau guru idealis baik ada tunjangan maupun tidak ada tunjangan atas profesinya. Ini bukan masalah mudah dan sederhana, tetapi membutuhkan kemauan dan komitmen kuat bagi para pemegang kebijakan pendidikan di negeri dengan 250 juta penduduk.

Penulis sebagai alumni ilmu pendidikan (Tarbiyah) mengikuti dengan baik perkembangan dunia pendidikan dan keguruan. Sudah ada perubahan kebijakan untuk meningkatkann kualitas dan kesejahteraan guru sebagaimana di atur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Niomor 14 tahun 2005. Namun belum sebanding dengan jerih payah dan perjuangan mereka terutama untuk guru-guru madarsah formal, apalagi ustadz-ustadz pondok pesantren. Harus ada revolusi kebijakan Negara, akan nasib guru. Salah satunya menstandarkan gaji guru baik negeri maupun swasta agar mereka hidup layak misalkan standar UMR, karena masih banyak guru madarash yang bergaji (bisyaroh) Rp. 50.000,-100.000. Sementara gaji cleaning service sudah berkisar antara 1,5-2,5 juta.

Selain itu mungkin ada kebijakan jaminan dana pensiun bagi guru-guru swasta yang mekanismenya dapat dibicarakan lebih lanjut dengan pihak yang berkompeten. Dan berbagai program lain yang muaranya adalah mensejahterakan guru. Saya kira anggaran 20% pendidikan nasional, harus mampu dikelola dengan baik, salah satunya untuk para pendidik dan tenaga kependidikan. Tentu saja diimbangi dengan meningkatnya profesionalitas guru dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pendidik dan pengajar. Peningkatan kapasitas melalui studi lanjut dengan beasiswa, pendidikan dan latihan guru, shoort cours capacity building dan lain-lain harus menjadi prioritas.

Mengajar adalah panggilan jiwa, bukan sekedar mengisi waktu kosong, apalagi menghilangkan predikat pengangguran. Karenanya profesi guru, harus dihargai dan di junjung tinggi agar guru-guru yang ada tetap mempunyai jiwa dan watak pejuang, pengabdi, dan penggerak masyarakat. Itu semua kembali kepada para guru itu sendiri dan kemauan baik pemerintah ditengah kompleksitas persoalan yang menderanya. Wallahu a`lam bi al-shawab.

*Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta

KEYWORD :

Opini Guru Pejuang Guru Matre




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :