
Ilustrasi aktivitas me time ( Foto: Republika )
Jakarta, Jurnas.com - Me time bukan lagi sekadar istilah tren kekinian. Di tengah tekanan sosial, tuntutan akademik, tuntuan ekonomi, hingga banjir informasi digital, generasi muda—terutama Gen Z—mulai menyadari pentingnya mengambil jeda. Me time hadir sebagai ruang pribadi untuk beristirahat, menata ulang batin, dan merawat jiwa. Tapi yang menarik, praktik ini bukanlah hal baru dalam sejarah umat Islam.
Gen Z—mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012—merupakan generasi digital native. Mereka tumbuh bersama media sosial, budaya daring, dan segala kemudahan teknologi. Namun di balik keakraban dengan dunia virtual, Gen Z juga dikenal sebagai generasi yang peduli pada kesehatan mental dan keseimbangan hidup. Mereka sadar bahwa untuk tetap sehat secara emosional dan spiritual, butuh waktu untuk menyendiri atau dikenal dengan istilah "me time".
Dalam konteks ini, “me time” menjadi salah satu cara Gen Z mengelola stres dan menjaga kewarasan. Bentuknya beragam: membaca buku, berjalan sendiri, menulis jurnal, hingga sekadar duduk diam dalam keheningan. Aktivitas sederhana ini menjadi cara mereka merawat sisi terdalam dari diri sendiri.
Namun, jauh sebelum istilah “me time” populer, Islam telah mengenal praktik serupa dalam bentuk yang lebih sarat makna. Dikutip dari laman Nahdlatul Ulama, Rasulullah SAW, sebelum masa kenabiannya, sering menyendiri di Gua Hira. Dalam hadits riwayat Imam Bukhari, Aisyah RA menceritakan bahwa Nabi SAW sangat menyukai khalwah (menyendiri), beribadah di sana selama beberapa malam untuk merenungi kondisi umat dan mencari kebenaran.
"ثُمَّ حُبِّبَ إِلَيْهِ الْخَلَاءُ، وَكَانَ يَخْلُو بِغَارِ حِرَاءٍ، فَيَتَحَنَّثُ فِيهِ..."
"...Lalu beliau mulai menyukai menyendiri. Beliau biasa menyendiri di Gua Hira..." (HR. Bukhari)
Apa yang dilakukan Nabi SAW ini bukan sekadar menyepi untuk menghindari keramaian. Beliau menjalani me time yang kontemplatif: membersihkan hati, menyucikan jiwa, dan memusatkan perhatian pada tanda-tanda kebesaran Allah. Syekh Muhammad al-Ghazali menjelaskan bahwa Nabi menyucikan hatinya hingga mencapai kejernihan spiritual tertinggi—suatu kondisi di mana cahaya kebenaran dapat menyentuh nurani terdalam.
Di Gua Hira, Nabi Muhammad SAW tidak hanya beribadah secara ritual, tetapi juga mengolah pikir dan perasaan. Ia merenungi kondisi sosial masyarakat Quraisy, ketimpangan moral yang terjadi, dan mencari petunjuk dalam diam. Musa bin Rasyid al-‘Azhimi menyebutkan bahwa Nabi SAW bahkan menghabiskan sebulan penuh setiap tahun untuk merenungi keajaiban ciptaan Allah dan kekuatan penciptaan yang Maha Agung.
Bagi Gen Z yang sedang mencari makna hidup di era serba cepat, menyendiri bisa menjadi cara mengembalikan kendali atas diri. Namun Islam mengajarkan bahwa menyendiri bukan hanya soal menenangkan pikiran, tetapi juga menyucikan niat dan mendekat pada Allah SWT.
Me time Islami bukan tentang egoisme spiritual, melainkan upaya merawat relasi dengan Sang Pencipta. Dalam keheningan, seseorang bisa lebih jujur menilai dirinya, menyadari kelemahan, dan merumuskan kembali arah hidup.
Dengan menjadikan sunnah Nabi SAW sebagai inspirasi, me time bisa lebih dari sekadar rutinitas self-care. Ia menjadi bentuk ibadah kontemplatif—menyendiri bukan untuk lari dari dunia, tapi untuk kembali ke dunia dengan jiwa yang lebih tenang dan hati yang lebih bijak. (*)
Wallohu`alam
Sumber: NU Online
KEYWORD :Me Time Khalwah Aktivitas Menyendiri Teladan Nabi Nabi Muhammad SAW