Senin, 03/11/2025 05:01 WIB

Kisah Imam Al-Ghazali Membersihkan Lantai Rumah Gurunya





Kisah Imam Al-Ghazali yang merendahkan diri membersihkan lantai rumah gurunya mengajarkan adab, keikhlasan, hingga makna sejati ilmu dalam tradisi Islam

Ilustrasi - Imam Al-Ghazali (Foto: Pinterest/Islampos)

Jakarta, Jurnas.com - Nama Imam Al-Ghazali identik dengan kecerdasan luar biasa dan karya monumental di bidang filsafat Islam serta tasawuf. Namun di balik kebesaran namanya, tersimpan kisah sederhana yang mengajarkan makna kerendahan hati, penghormatan kepada ilmu, hingga adab kepada guru.

Dalam tradisi keilmuan Islam, adab kepada guru kerap ditempatkan di atas kecerdasan. Sikap hormat, patuh, dan memuliakan guru menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan seorang penuntut ilmu.

Salah satu kisah yang cukup terkenal tentang kemuliaan adab itu datang dari Imam Al-Ghazali. Ulama besar yang hidup pada abad ke-5 Hijriah ini pernah membersihkan lantai rumah gurunya dengan tangannya sendiri.

Mengutip laman Kemenag, kisah ini diriwayatkan oleh Syekh Nawawi al-Bantani dalam Maraqil Ubudiyah ala Matan Bidayatul Hidayah. Ia menulis bahwa peristiwa itu berawal dari hubungan Imam Ghazali dengan saudaranya, Ahmad, yang jarang menjadi makmum ketika Ghazali menjadi imam shalat.

Suatu hari, Imam Ghazali meminta ibunya menasihati Ahmad agar mau ikut shalat berjamaah. Ahmad akhirnya datang ke masjid, namun di tengah shalat ia memutuskan mufaraqah karena dalam pandangan batinnya melihat tubuh Ghazali dipenuhi darah.

Usai shalat, Ahmad menjelaskan bahwa yang dilihatnya adalah cerminan dari pikiran sang imam. Saat memimpin shalat, ternyata Imam Al-Ghazali tengah memikirkan persoalan fikih tentang darah haid wanita mutahayyirah. Ia pun terdiam, menyadari bahwa hatinya memang sedang sibuk oleh urusan ilmiah.

Rasa takjub muncul dalam diri Imam Al-Ghazali terhadap kemampuan batin saudaranya. Saat ditanya dari mana ia belajar hal itu, Ahmad menjawab, “Dari Syekh Al-Atiqi, seorang ahli ibadah yang pekerjaannya hanya menjahit sandal.”

Penasaran, Imam Al-Ghazali segera berangkat menemui Syekh Al-Atiqi dan menyatakan keinginannya untuk menjadi murid. Sang guru menatapnya sejenak, seolah menguji ketulusan niat sang ulama besar. “Sepertinya engkau tidak akan sanggup menaati perintahku,” ujarnya tenang.

“Insyaallah aku sanggup,” jawab Ghazali mantap. Maka sang guru memerintahkannya untuk membersihkan lantai rumah itu. Imam Al-Ghazali mengulurkan tangan hendak mengambil sapu, tetapi Syekh Al-Atiqi menahannya. “Tidak dengan sapu. Gunakan tanganmu.”

Tanpa ragu, Imam Ghazali berlutut dan mulai membersihkan lantai dengan tangannya sendiri. Ia melakukannya dengan penuh kerendahan hati, tanpa mengeluh, tanpa bertanya mengapa.

Tak lama kemudian, sang guru kembali mengujinya dengan perintah yang lebih berat. “Bersihkan kotoran di sana dengan bajumu.” Saat Al-Ghazali hendak menuruti, Syekh Al-Atiqi menatapnya dalam-dalam dan segera menghentikannya. Ia melihat ketulusan yang murni dalam hati muridnya.

“Cukup. Pulanglah,” ucapnya lembut. Sejak hari itu, Imam Al-Ghazali merasakan perubahan dalam dirinya. Ia menemukan ketenangan batin dan kejernihan hati yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Dalam perenungannya, Al-Ghazali menyadari bahwa ilmu sejati bukan hanya hasil dari berpikir, melainkan dari hati yang bersih. Ia mengaku bahwa semua pengetahuan yang pernah ia pelajari terasa kecil dibanding cahaya ilmu yang Allah Swt limpahkan setelah peristiwa itu.

Kisah ini menjadi pelajaran tentang adab dan keberkahan dalam menuntut ilmu. Bahwa penghormatan kepada guru bukan sekadar etika, tetapi kunci terbukanya pintu hikmah. Dalam kitab Ayyuhal Walad, Imam Al-Ghazali menyinggung bahwa rasa atau dzauq tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, hanya bisa dirasakan melalui pengalaman yang tulus. (*)

KEYWORD :

Imam Al-Ghazali Adab menuntut ilmu Kisah ulama Membersihkan lantai rumah guru




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :