Selasa, 23/04/2024 23:42 WIB

Yasonna Laoly Soal Kerjasama Politik Pilpres dan Pemerintahan Dalam Negara Hukum Pancasila

Terkait kerjasama politik Pilpres dan Pemerintahan dalam Negara Hukum Pancasila, ini pandangan Yasonna Laoly

Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly. (Foto: Jurnas/Ist).

Jakarta, Jurnas.com- Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Hukum dan Perundang-Undangan Yasonna H. Laoly memberikan opini atau pandangannya terkait  corak demokrasi Indonesia yang berideologi Pancasila. Dikatakannya,  menurut pada pendiri bangsa sejatinya adalah bercorak gotong royong.

“Konsep demokrasi musyawarah untuk mufakat berarti kita harus saling mengalah untuk sampai pada mufakat, sampai pada suara bulat, atau berkompromi sampai mencapai mufakat. Oleh karenanya, penyelenggaraan demokrasi Indonesia dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Bukan oleh logika menang-menangan, pengaduan kekuatan, tipu muslihat dan voting. Perkataan gotong royong adalah perkataan asli Indonesia yang menggambarkan jiwa Indonesia yang semurni-murninya. Oleh karena itu, kita harus kembali kepada demokrasi kita yang sejati,” jelas Yasonna Laoly melalui lketerangannya, Rabu (26/4/2023).

Sehingga menurutnya, ketika diturunkan dalam penyelenggaraan praksis politik pemerintahan, kita secara sadar memilih sistem presidensial bukan parlementer. Sistem parlementer sebagaimana namanya adalah sistem pemerintahan yang dikontrol oleh parlemen. Suatu pemerintahan hanya akan bertahan jika didasarkan atas koalisi antar partai di parlemen. Sejarah mencatat Indonesia dibawah sistem parlementer berada dalam kondisi kacau balau, jatuh bangun kabinet, krisis politik dan bahkan pemberontakan-pemberontakan di daerah.

Jika dilihat terminologi koalisi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) adalah “kerjasama antar beberapa partai untuk memperoleh kelebihan suara di parlemen”. Hal yang sama ditemukan dalam Kamus Politik (2007), koalisi adalah kerja sama antara beberapa partai untuk memperoleh suara mayoritas dalam parlemen dalam membentuk satu kabinet atau pemerintah. Dari definisi di atas, istilah koalisi pada hakikatnya dimaksudkan dalam konteks pembentukan pemerintahan oleh parlemen, bukan dalam rangka mengusulkan pasangan capres-cawapres.

Sementara di Indonesia yang menjalankan sistem presidensial, dalam mengusung capres-cawapres merujuk pada pasal 6A ayat (2) UUD NRI tahun 1945 : “pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Begitu pula dalam membentuk pemerintahan tidak diperlukan koalisi karena presiden memiliki hak prerogatif dalam membentuk kabinet. Sehingga kerja sama menyusun pemerintahan dalam sistem presidensial tegas diatur dalam konstitusi adalah berdasar pada hak prerogatif presiden terpilih.

Kemudian, masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden dalam sistem presidensial juga bersifat fix term selama 5 tahun dalam satu periode maka koalisi dalam parlemen tidak dikenal. Sehingga tidak tepat menggunakan istilah koalisi baik dalam mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden maupun dalam pembentukan pemerintahan.

“Kita lebih tepat menggunakan istilah kerja sama. Istilah tersebut lebih menggambarkan suatu pembantingan pikiran dan tenaga demi mencapai tujuan bersama dengan posisi masing-masing pihak berkedudukan secara proporsional. Prinsip proporsionalitas ini sangat penting karena menuntut adanya keseimbangan hak dan kewajiban pelaku kerja sama politik,” tegasnya.

Hal itulah yang membuat pembentuk undang-undang menentukan syarat pencalonan presiden dan wapres harus memenuhi perolehan kursi paling sedikit 20%  dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional. Logikanya partai yang sudah bekerja keras secara baik dan maksimal mendapatkan simpati rakyat, haruslah diberi porsi yang lebih besar dalam hal hak-hak politik dibanding partai yang belum mampu secara maksimal meraih suara rakyat. Asas proporsionalitas inilah yang kiranya menjadi pegangan dalam kerjasama antar partai dalam mengusulkan calon presiden dan wakil presiden.

Ketika suatu partai misalnya memenuhi syarat 20 % dari jumlah kursi DPR, maka secara otomatis disebut pengusul. Sementara yang tidak memenuhi disebut pendukung. Ini adalah logika yang memenuhi prinsip fairness (kewajaran) karena semua pihak diletakkan dalam bingkai yang sesuai porsinya. Sistem politik kita memberi reward (penghargaan) kepada semua partai untuk dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wapres sendiri, tentunya dengan syarat bekerja keras mendapat simpati rakyat dalam bentuk  20% dari jumlah kursi DPR.

Sehingga dalam kerja sama politik baik dalam tahapan Pemilu Presiden 2024 maupun kerja sama dalam pembentukan kabinet pasca pemilu, haruslah mengacu pada spirit demokrasi Pancasila yakni kerjasama politik yang bernafaskan gotong royong dimana di dalamnya dijunjung keadilan secara proporsional.

“Artinya, setiap pelaku politik yang bekerjasama memiliki hak dan kewajiban sesuai dengan proporsinya dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam hal ini adalah UUD NRI 1945 dan UU Pemilu dan etika politik yang baik. Dengan begitu, kerjasama politik akan dipenuhi oleh suasana hikmat kebijaksanaan yang di dalamnya tergambar semangat untuk meletakkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan,” terangnya.

KEYWORD :

Yasonna Laoly Pemilu Presiden Ketua DPP PDI Perjuangan




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :