Sabtu, 20/04/2024 06:05 WIB

Catatan Jurnalis

Tersesat dan Wanita Cantik di Bangkok (1)

Catatan panjang perjalanan ke Bangkok bersama para

Mall MBK di tengah Kota Bangkok

Bangkok – Kamis, 19 Januari 2017. Jam menunjukkan pukul 13.20 waktu Bangkok, Ibu Kota Thailand. Inilah yang kali pertama aku datang ke negara ini. Berbekal pekerjaan sebagai seorang jurnalis junior untuk meliput kegiatan menteri cilik Because I Am A Girl dari Plan International Indonesia.

Aku tahu kegiatan selama empat hari ke depan adalah dalam rangka kunjungan belajar. Selain itu, briefing singkat sehari sebelum keberangkatan, serta beberapa lembar kertas di dalam map plastik berwarna biru yang diserahkan kepadaku sebelum meninggalkan Indonesia menjadi pedoman perjalanan kali ini.

Sowan ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di jalan Petchburi Road Bangkok menandai hari pertama di kota Bangkok. Sisanya, aku dibawa rombongan mengunjungi Madame Tussauds yang di dalamnya berisi patung lilin tokoh-tokoh terkenal di dunia.

“Nanti fotoin aku sama Ronaldo ya,” kataku kepada Hana, staf Plan Indonesia yang sering menjadi partnerku untuk urusan potret-memotret. Kecintaanku terhadap klub sepak bola Spanyol, Real Madrid, membuatku pantang melewatkan kesempatan untuk berfoto bersama replika sang pemain idola.

“Beres,” jawab Hana singkat.

Hari pertama berakhir dengan singkat, berganti menjadi lembaran hari kedua. Dari jalanan Trimitr Road Taladnoy, Samphanthawong tempatku menginap, rombongan mengajakku pergi ke luar kota Bangkok. Provinsi Rayong namanya. Nun jauh dari hirup pikuk Bangkok yang seolah tak pernah mati selama 24 jam.

Provinsi Rayong cenderung lebih tenang dan tertata, sebab distrik ini berada di dekat Provinsi Chantaburi yang berbatasan langsung dengan Kamboja. Dalam hati aku sempat menggumam, bagaimana bisa daerah perbatasan dibuat secantik ini. Aku iri. Berbeda sekali dengan daerah perbatasan di negaraku yang kurang ditata dengan baik.

---

Kota Bangkok hari ketiga. Matahari baru saja redup. Jam 18.45, suasana ibu kota negara Thailand itu masih ramai. Di sana-sini keriuhan para turis domestik dan mancanegara. Kota ini mirip-mirip Jakarta.

Meskipun Thailand sudah menetapkan masa berkabung selama satu tahun pasca meninggalnya Raja Bhumibol pada Oktober 2016 silam, sepertinya tidak berpengaruh dengan kesibukan di pusat kota Bangkok.

“Mungkin karena malam minggu,” ujar batinku.

Maklumlah, inilah kali pertama aku ke luar negeri. Sampai aku terlalu menikmati suasana sembari menyusuri satu per satu anak tangga menuju jalan layang (skyline) yang berdiri di depan Mal MBK. Belakangan aku baru tahu, MBK kepanjangan dari Mahboonkrong. Entah jadi terasa sulit dihafal ketimbang MBK.

Aku tak sendirian. Setidaknya masih ada enam bocah cerdas yang Oktober lalu pernah memegang jabatan sebagai menteri sehari di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Tak salah mereka menjabat posisi itu, kemampuan berbicara enam anak tersebut sudah mampu bertindak layaknya seorang menteri atau direktur jenderal.

“Ayo lekas jalan. Jangan sampai perpisahan,” ucap pemimpin tur kepada rombongan. Logat dan penggunaan katanya terdengar aneh. Entah siapa nama lengkap pria asli Thailand tersebut. Kami hanya memanggilnya dengan sebutan Kong David. Kendati umurnya sudah memasuki usia senja, kira-kira hampir 60 tahun, bahkan bisa jadi lebih, Kong David masih terlihat enerjik.

Aku bergegas. Di depanku lima pejabat perwakilan Kemnaker dan KPPPA yang ikut dalam rombongan juga turut mempercepat langkah menuju loket stasiun BTS. Di belakang, masih ada lima staf Plan International Indonesia yang bertanggung jawab atas keenam menteri cilik tersebut.

Tidak banyak yang berbeda antara kereta MRT ala Thailand dengan commuterline Jakarta-Bogor, kecuali bantalan rel yang lebih halus. Tidak seperti kereta api di Indonesia yang menghasilkan suara berisik ketika rel beradu dengan roda kereta. Selain itu, masih sama. Mulai dari padatnya penumpang, hingga posisi tempat duduk yang memanjang di sisi kiri dan kanan.

“Emporium.. berhenti di Emporium,” teriak Kong David dari tengah kerumunan penumpang. Tidak ada nama seperti yang disebutkan oleh Kong David di layar komputer di atas pintu kereta. Semuanya nama-nama Thailand.

“Stasiun Phrom Pong setelah Stasiun Asok,” suara wanita paruh baya menyahut dari balik tangan-tangan yang menggantung di dalam kereta itu. Tak begitu jelas, namun jika aku tak salah suara itu masih salah satu staf Plan International Indonesia.

Tak seberapa lama kereta berhenti. Aku ke luar dari pintu sebelah kanan menuju bantaran jalan layang yang membentang di sepanjang mata memandang. Sebuah tata kota yang bagus ku pikir, sehingga para pejalan kaki tidak harus berjibaku dengan pengguna kendaraan bermotor yang rentan mengakibatkan kecelakaan.

Sial. Tanpa sepengetahuan rombongan, aku terpisah setelah berhenti sebentar karena tali sepatuku terlepas. Bukan hal yang mudah menemukan rombongan saat terpisah di depan Mal Emporium yang  megah di sisi kiri stasiun Phrom Pong, sebab di depan mal tersebut juga berdiri banyak pusat perbelanjaan lainnya yang tak kalah besar dari Emporium yang kurang lebih tampak seperti Plaza Indonesia.

Dan bodohnya lagi, aku tidak tahu rombongan hendak menuju ke restoran mana untuk agenda makan malam. Pembicaraan di grup WhatsApp sehari sebelumnya tidak sempat aku baca. Sedangkan rasa lelah membuatku tertidur di bus saat tour guide memberikan paparan tentang agenda malam ini. Baru ku sadari betapa cerobohnya aku.

Habis sudah. Kartu SIM yang aku gunakan sama sekali tidak berfungsi sejak saat pertama kali aku mendarat di Bandara Suvarnabhumi, Thailand. Daftar Wi-Fi yang tertera memang banyak, namun tidak ada satu pun yang bisa terkoneksi ke handphoneku. Padahal itu satu-satunya jalan yang ku kira bisa membuatku mencari tahu keberadaan rombongan via grup WhatsApp. Belum lagi, di dompetku hanya ada tiga lembar uang seratusan bath (mata uang Thailand), atau kurang lebih 110 ribu jika dirupiahkan. Jumlah yang sama dengan harga kartu SIM yang ditawarkan kepadaku sesaat setelah turun dari pesawat. 150 dolar yang ku miliki belum sempat ku tukar lagi. "Ah, sial," pikirku.

Berbekal kata “Emporium..Emporium” yang ditasbihkan Kong David sejak di kereta, membuatku melangkahkan kaki menuju Mal Emporium. Untung saja, meskipun bahasa Inggris yang aku miliki tidak terlalu lancar, namun sudah cukup untuk membuat orang mengerti maksudnya. Bangkok-2/">Selanjutnya, Klik Disini

KEYWORD :

Catatan Jurnalis Bangkok Thailand




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :