Rabu, 24/04/2024 09:40 WIB

Ulama dan Santri Dalam Perjuangan Kemerdekaan

Peran ulama dalam perjuangan kemerdekaan mempunyai relevansi aktual dalam membangkitkan semangat mengisi kemerdekaan.

Pengasuh Pesantren Assalam Plered Purwakarta, Muhtar S. Syihabuddin bersama Ketum PKB Muhaimin Iskandar

Oleh: Muhtar S. Syihabuddin
Pengasuh Pesantren Assalam Plered Purwakarta

Jakarta - Sebelum bernama Indonesia, negeri ini kerap dikatakan dengan Negara Nusantara sejak abad 14 dengan wilayah berbagai pulau, membentang dari Sabang sampai Merauke, ditambah Malaysia, Brunei, dan Filipina bagian selatan. Yang berkuasa adalah raja dan sultan dengan Kerajaan Majapahit, Pajajaran, Sriwijaya, Kutai dan Mataram, berlanjut pada Kesultanan Pasai, Demak, Banten, Raden Intan dan lain sebagainya, karena hampir di seluruh daerah pulau itu terdapat kesultanan sebagai simbul kekuasaan lokal. 
 
Kesultanan itu tidak bisa dipisahkan dari peran ulama dalam pembentukan negara Indonesia yang bisa terlacak ketika Bangsa Eropa menjajah nusantara pada pada abad 16 atau sekira 1600 M. Ini dimulai dengan perebutan wilayah perdagangan yang selalu menggunakan kekuatan pasukan untuk menguasai suatu wilayah perdagangan. Berbeda dengan era mutakhir yang menggunakan cara diplomasi, negosiasi, perang tarif, akuisisi, koalisi antar negara dan bila perlu memperlakukan embargo antar negara.
 
Bangsa pertama yang menjajah nusantara pada abad 16 adalah Portugis dengan merebut pusat perdagangan Malaka, sehingga Portugis menjadi pelaku perdagangan tunggal di Asia. Terus menguasai berbagai kesultanan nusantara; Demak, Aceh, Sunda Kelapa, yang ketiganya merupakan jalur perdagangan paling maju kala itu.
 
Ulama Melawan Penjajah
 
Nah, kekuasaan Portugis mendapat perlawanan dari rakyat nusantara yang dipimpin ulama antara lain di Jawa Syeh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati merebut Sunda Kelapa, di Aceh ada perlawanan dikenal dengan perang padri, di Mataram ada perlawanan dipimpin Sultan Babullah. Perlawanan itu membuat Portugis angkat kaki dari nusantara pada tahun 1527.
 
Memasuki abad 17, nusantara kembali diusik oleh Bangsa Eropa yaitu Inggris dan Belanda yang bermula dari pendirian lembaga perdagangan EIC (East Indian Compenies) dan VOC (Verinidge Oost Indiche Companies). Berkedok perdagangan ini, lama kelamaan menguasai sumber kekayaan alam sampai bentrok dengan berbagai kesultanan di nusantara.
 
Penguasaan lahan dan sumber alam ini mendapat serangkaian perlawanan rakyat nusantara yang dipimpin ulama; Perang Pangeran Diponegoro di Jawa, Sultan Hasanudin di Makassar, Imam Bonjol di  Sumatera, Sultan Abdul Shomad di Palembang, Syeh Arsyad al Banjari di Banjarmasin Kalimantan, al Habib al Idrus di Kwitang Jakarta, Kyai Haji Abas Cirebon, Syeh Subkhi di Suka Bumi dan banyak lagi perlawanan yang dipimpin ulama pada penjajah di berbagai tempat nusantara.
 
Era penjajahan sangat lama adalah penjajahan Belanda yang berhasil membuat strategi yang disebut politik etis yakni upaya memperlemah perlawanan rakyat dengan melakukan monopoli semua aspek perdagangan dan memaksa rakyat untuk melakukan tanam paksa dan kerja paksa jika ingin mendapat makan. Pada sisi lain, politik etis menciptakan kebodohan pada rakyat nusantara, dengan melarang warga pribumi sekolah, kecuali kalangan priyayi atau elit di masyarakat. 
 
Perlawanan muncul lagi oleh ulama dengan menyatukan langkah mendirikan Syarikat Dagang Islam pada 1905 oleh Haji Samanhudi, dan pada 1918 KH Wahab Chabullah mendirikan Nahdlatu Tujjar (kebangkitan para pedagang) yang melalui organisasi ini dapat berdiri pasar-pasar yang memungkinkan rakyat pribumi melakukan aktifitas ekonomi. Sementara itu, perlawanan pada upaya pembodohan oleh penjajah, para ulama menguatkan pesantren sebagai sarana belajar warga pribumi sekaligus pusat pertahanan dan perumusan strategi perlawanan pada penjajah.
 
Perlawanan rakyat nusantara ini terus berlanjut dengan melakukan konsolidasi dan penyatuan gerakan ulama, ditandai dengan berdirinya organisasi ulama bernama Nahdlatul Ulama pada 1926 oleh Hadrotus Syeh Hasyim Asya’ari yang menjadi awal kebangkitan penyatuan ulama nusantara. 
 
Peran NU semakin menonjol dengan fatwa ulama NU pada rakyat nusantara bahwa melawan penjajah yang dzalim hukumnya wajib dan semua ulama-santri dan rakyat terus melakukan berbagai perlawanan. Dari pasukan yang dibuat ulama ini lahir Laskar Hizbullah, Laskar Sabilillah sebagai cikal bakal Tentara Pembela Tanah Air (PETA) dan selanjutnya menjadi Tentara Nasional Indonesia, kemudian pada orde baru berubah nama menjadi ABRI, dan pada orde reformasi presiden Gus Dur mengembalikan menjadi nama TNI sampai saat ini.
 
Peran ulama paling fenomenal adalah mendorong kepada Bung Karno untuk segera melakukan proklamasi kemerdekaan pada 17 agustus 1945, yang sebelumnya ada BPUPKI (Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan Indonesia) di mana salah satu anggotanya adalah KH. Wahid Hasyim putra Hadrotus Syeh Hasyim Asy’ari yang juga ayah presiden Gus Dur. 
 
BPUPKI berhasil merumuskan dasar negara berupa Pancasila, bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Undang-undang Dasar 1945 dan Bhineka Tunggal Ika dengan menghormati perbedaan suku, agama, adat istiadat warga bangsa indonesia. Hasil dari BPUPKI itu selaras dengan intisari dari piagam madinah zaman Rasulullah SAW. 
 
Inilah yang dapat kita liihat, kenapa ulama NU selalu menjadi garda terdepan dalam mempertahankan Pancasila, UUD ‘45, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. NU pasti akan menolak perubahan dasar negara mejadi komunis sosialis, kapitalis liberal sekaligus berdasarkan satu agama tertentu. Karena hal tersebut tidak sejalan dengan piagam madinah yang telah diterapkan Rasulullah SAW. 
 
Peran ulama dalam perjuangan kemerdekaan mempunyai relevansi aktual dalam membangkitkan semangat mengisi kemerdekaan yang kini memasuki usia ke-76, karena ulama adalah pelopor perlawanan dari awal kolonialisme bercokol sampai detik-detik terakhir jelang kemerdekaan 17 Agustus 1945. Mereka akan terus hadir dalam setiap upaya membongkar pondasi bernegara itu sampai titik darah terakhir.
KEYWORD :

Ulama dan Santri Dalam Perjuangan Kemerdekaan Ulama NU




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :