Jum'at, 26/04/2024 06:42 WIB

Cegah Tumpang Tindih Aturan, WamenkumHAM: Pemerkosaan dan Pemaksaan Aborsi Sudah Diatur di RKUHP

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif

Jakarta, Jurnas.com - Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyayangkan pandangan pemerintah dalam rapat pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) pada Kamis (31/3).

Hal itu merujuk pada pernyataan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy yang menyebut jika pemerkosaan dan pemaksaan aborsi tidak diatur dalam RUU TPKS.

Komnas Perempuan menyayangkan bahwa perkosaan dan pemaksaan aborsi tidak diatur secara khusus di dalam RUU TPKS. Melainkan digantungkan pada pembahasan di RKUHP,” kata Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani dalam keterangannya, Selasa (4/4).

Menurut Eddy, pernyataannya itu didasari pada pertimbangan untuk menghindari tumpang tindih aturan dengan regulasi lain. Eddy mengatakan, pemerkosaan dan aborsi sudah diatur dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

"Saya mampu meyakinkan satu ini, tidak akan pernah tumpang tindih dengan RKUHP, karena kita membuat matriks ketika akan menyusun RUU TPKS. Khusus memang mengenai pemerkosaan itu sudah diatur rinci di dalam RKUHP," kata Eddy.

Eddy juga mengusulkan aborsi dihapus dari RUU TPKS. Sebab, Eddy mengatakan jika aborsi sudah diatur secara rinci dalam pasal 469 RKUHP.

"Karena itu diatur dalam Pasal 469 yang dikatakan kemarin mengenai pemaksaan aborsi. Pemaksaan itu kan artinya tanpa persetujuan. Di dalam RUU KUHP itu perempuan yang tanpa persetujuannya kemudian dilakukan pengguguran janin dan sebagainya masuk dalam konteks tindak pidana," tutur Eddy.

Aborsi juga sudah diatur dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Di mana, dalam pasal 75 ayat 1, disebutkan bahwa:

`Setiap orang dilarang melarang aborsi. Namun ada pengecualian untuk dua kondisi, yaitu indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan dan kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan`.

Menanggapi pernyataan Eddy, Komnas Perempuan tidak sepakat dengan alasan Eddy perihal tumpang tindih aturan.

“Selama RKUHP belum disepakati atau kemudian menghasilkan rumusan yang tidak mencerminkan pengalaman korban, maka keputusan untuk menggantungkan pengaturan perkosaan dan pemaksaan aborsi ini akan merugikan korban, utamanya perempuan,” tutur Andy Yentriyani.

Andy berharap pemerintah mempertimbangkan ulang pengaturan tentang perkosaan dan pemaksaan aborsi.

Harapan ini dilandasi semangat agar RUU TPKS benar-benar bisa menjadi payung hukum yang kuat untuk mencegah dan melindungi masyarakat dari tindak pidana kekerasan seksual.

Semangat ini juga diserukan Ketua DPR Puan Maharani, dalam acara audiensi dengan para aktivis yang mengawal RUU TPKS (12/01) lalu.

Puan Maharani menyebut RUU TPKS harus hadir sebagai satu payung hukum untuk menjaga serta membuat aman masyarakat, khususnya kaum perempuan.

Meski begitu, Puan juga menilai pentingnya memperhatikan korban-korban kekerasan seksual dari kelompok masyarakat lainnya seperti kaum lelaki dan disabilitas.

“Ini harus menjadi undang-undang yang dapat membuat kita bekerja dengan nyaman dan merasa dilindungi, agar UU ini juga dapat melindungi anak hingga cicit kita. Apalagi kita perempuan, jiwa keibuan kita itu akan sangat melekat di manapun kita berada,” tegas Puan Maharani.

KEYWORD :

Komnas Perempuan RUU TPKS Wamenkumham Pemerkosaan Pemaksaan Aborsi




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :