Selasa, 23/04/2024 20:14 WIB

Kemen PPPA Harus Ganti Rugi Rp 331 Juta Korban Asusila Herry Wirawan

Vonis terhadap Herry Wirawan tentu lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yang menuntut hukuman pidana mati dan kebiri kimia.

Herry Wirawan, pemerkosa 12 santriwati di Bandung. (Foto: Dok. Pikiran Rakyat)

Jakarta, Jurnas.com - Terdakwa kasus asusila 13 santriwati, Herry Wirawan divonis seumur hidup oleh Pengadilan Negeri Jawa Barat. Vonis terhadap Herry Wirawan tentu lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yang menuntut hukuman pidana mati dan kebiri kimia.

Majelis Hakim juga menjatuhkan restitusi senilai Rp 331 juta, yang pemenuhannya dibebankan kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) atas kerugian yang diderita oleh korban.

Institute for Criminal Justice Reforme (ICJR) sejak awal mengutuk perbuatan yang dilakukan oleh pelaku Herry Wirawam, dan berempati pada korban serta juga keluarganya atas peristiwa ini.

"Namun putusan ini merefleksikan fenomena yang jamak terjadi di Indonesia belakangan, terutama di dalam kasus kekerasan seksual dan kasus yang melibatkan anak-anak, bahwa negara hanya berfokus kepada penghukuman terhadap penghukuman keras bagi pelaku, tanpa melihat hal yang seharusnya semenjak awal menjadi fokus di dalam kasus, yakni pemulihan bagi korban," kata peneliti ICJR, Maidina Rahmawati dalam keterangannya, Selasa (15/2).

Dia menuturkan, carut marutnya sistem pemulihan bagi korban berdampak pada ketidakjelasan hak yang dapat diperoleh korban tidak kunjung diperbaiki. Revisi UU Perlindungan Anak di tahun 2016 yang merupakan momen tepat bagi negara untuk memperbaiki kebijakan soal jaminan pemulihan korban, justru menghadirkan kebijakan kepada pelaku saja, dengan hadirnya gimmick seperti kebiri kimia dan pidana mati.

Menurut Maidina, adanya korban dari perbuatan tindak pidana dan kerugian yang dialaminya, negara bertanggungjawan menyedikan pemulihan yang efektif, baik dibebankan kepada pelaku ataupun ditanggung oleh negara. Pemulihan bagi korban bukan sebagai bentuk penghukuman yang bergantung pada putusan pengadilan bagi pelaku. 

"Dikarenakan HW dituntut dengan pidana mati oleh Penuntut Umum, hakim menyatakan maka penjatuhan restitusi tidaklah dimungkinkan dengan mempertimbangkan Pasal 67 KUHP," ungkap Maidina.

Dia menyebut, Majelis Hakim melakukan ‘improvisasi’ dengan membebankan restitusi dibayarkan oleh pihak ketiga yang ditentukan yakni Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Hal ini tidak dikenal dalam skema pembayaran restitusi, pihak ketiga negara. 

Maidian menegaskan, korban kekerasan seksual baik anak maupun dewasa tentu saja berhak untuk memperoleh ganti kerugian atas peristiwa yang dialaminya baik dalam bentuk restitusi ataupun kompensasi. Dalam skema kekerasan seksual, kompensasi tidak dimungkinkan dalam skema UU hari ini. 

"Sedangkan pembebanan ganti kerugian kepada pelaku memiliki sejumlah kendala, salah satunya persoalan eksekusi oleh Jaksa dan pelaku yang tidak memiliki uang," beber Maidina.

ICJR mengapresiasi niat baik dari Majelis Hakim di dalam putusan Herry Wirawan dengan membebankan ganti rugi untuk dibayarkan oleh negara. Sayangnya yang tidak disadari oleh Majelis Hakim, dengan ketiadaan kerangka hukum mekanisme pembayaran restitusi oleh negara, sangat besar kemungkinan pada akhirnya restitusi ini tidak akan dibayarkan. 

"Sangat mudah bagi Pemerintah untuk berkelit bahwa tidak ada skema yang tersedia, karena memang tidak ada kewajiban negara membayarkan restitusi kepada korban. Terdapat ketidakjelasan mengenai pemenuhan restitusi ini, yang lagi-lagi dampak buruknya akan menimpa korban," ujar Maidina.

Maidina menekankan, seharusnya dengan melihat problem pemenuhan restitusi dan layanan korban bisa memastikan komitmen negara menguatkan hak korban, negara harus menghadirkan skema revolusioner untuk pemulihan hak korban. Skema Dana Bantuan Korban atau Victim Trust Fund harus dibangun oleh negara. 

"Negara tetap bisa menerapkan sanksi finansial kepada pelaku tindak pidana, lalu mengolah hasil yang didapat untuk memenuhi hak korban, termasuk untuk membayarkan kompensasi dan memberikan layanan. Dana Bantuan Korban ini juga dapat diolah dari penerimaan bukan pajak negara," pungkas Maidina.

Sebagaimana diketahui, alasan biaya restitusi dibebankan ke Kementerian PPPA, karena terdakwa Herry Wirawan sudah divonis hukuman seumur hidup. Hal itu mengacu pada Pasal 67 KUHP, di mana orang yang telah divonis seumur hidup tidak bisa dibebankan pidana tambahan. Restitusi korban perkosaan Herry Wirawan totalnya sebesar Rp 331.527.186.

KEYWORD :

Pemerkosaan Santriwati Herry Wirawan Divonis Seumur Hidup Kemen PPPA




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :