Selasa, 23/04/2024 16:14 WIB

Menteri Arifin Dukung Peningkatan SDM Doktor

Apabila korupsi dilakukan birokrat, maka birokrat tersebut adalah pelaku viktimisasi negara, padahal di lain pihak birokrat adalah instrumen negara yang berkewajiban untuk melakukan penarikan aset.

Kepala Biro Hukum Kementerian ESDM M. Idris F. Sihite. (Foto: Humas ESDM)

Jakarta, Jurnas.com - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif senantiasa mendorong pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) melalui pendidikan tinggi. Menurutnya, SDM adalah sesuatu yang penting, karena dengan SDM yang mumpuni maka pekerjaan akan banyak terbantu.

"Kita akan terus mendorong pengembangan sumber daya manusia kita. Kita akan mendorong para sarjana-sarjana kita untuk bisa mendapatkan kesempatan pendidikan yang lebih tinggi ke jenjang S2 atau S3 kita akan dorong ini," ujar Arifin ketika menerima gelar Insinyur Profesional Utama (IPU) (Distinguished Honorary Fellow).

Dukungan terhadap peningkatan SDM tersebut dibuktikan Arifin dengan menghadiri Sidang Promosi Doktor Kriminologi Universitas Indonesia Kepala Biro Hukum Kementerian ESDM M. Idris F. Sihite. Diskusi terbuka tersebut membahas banyaknya aset hasil korupsi yang disembunyikan para koruptor ke luar negeri, tak terdatanya jumlah yang dilarikan, dan sulitnya pemerintah Indonesia melakukan perampasan.

Dalam pidatonya, Idris memaparkan hambatan berlapis pemerintah Indonesia dalam usaha menarik aset-aset hasil korupsi yang tersebar di banyak negara.

"Lapis pertama, sulitnya melacak keberadaan aset koruptor karena umumnya sudah dialihkan ke dalam bentuk dan atas nama orang lain. Lapis kedua, kalaupun keberadaan diketahui, perbedaan sistem hukum menyulitkan upaya perampasannya. Sedangkan lapis ketiga adalah proses mengembalikan aset sering terhalang formalitas sistem birokrasi," jelasnya.

Masalah sulitnya mengembalikan aset ini dikhawatirkan akan membuat banyak koruptor menggunakan modus serupa untuk menyembunyikan hasil kejahatannya. Terlebih angka korupsi di Indonesia 16 tahun terakhir telah mencapai Rp 225,7 triliun. "Angka tersebut setara dengan biaya mengalirkan listrik di 5.040 desa terpencil atau setara biaya pendidikan untuk 3,36 juta siswa sampai ke perguruan tinggi," tambahnya.

Dalam posisi negara sebagai korban, menurut Idris, dampaknya pada kemampuan negara melaksanakan fungsinya. Sebab apabila korupsi dilakukan birokrat, maka birokrat tersebut adalah pelaku viktimisasi negara, padahal di lain pihak birokrat adalah instrumen negara yang berkewajiban untuk melakukan penarikan aset.

"Selain itu, terdapat persepsi di kalangan aparat penegak hukum bahwa negara adalah entitas yang abstrak, mereka mengganggap tidak ada yang dirugikan secara langsung. Maka dapat disimpulkan bahwa negara adalah korban tersamar kejahatan korupsi, dan melalui analisis teori `prisma kejahatan` disebut "the state as invisible victim"," tandas Idris.

Setelah mendengar sanggahan atas pertanyaan dewan penguji, pimpinan sidang akhirnya memutuskan M. Idris F. Sihite dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan dan berhak menyandang gelar doktor kriminologi. Promovendus tercatat sebagai doktor kriminologi ke-28 pada Departemen Kriminologi Universitas Indonesia.

KEYWORD :

Arifin Tasrif Pendidikan Tinggi Aset Korupsi




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :