Jum'at, 19/04/2024 03:43 WIB

Kekerasan Seksual di Pesantren Bukti Lemahnya Pengawasan Kemenag

Kasus kekerasan seksual terjadi karena Kementerian Agama tidak memiliki aturan dan pedoman perekrutan guru atau pengasuh satuan pendidikan keagamaa, yang dijadikan rujukan wajib dalam merekrut guru.

Gedung Kantor Kementerian Agama (Foto: Ist)

Jakarta, Jurnas.com - Anggota Dewan Pakar Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Rakhmat Hidayat, menyoroti kasus kekerasan seksual di pesantren di Bandung, Jawa Barat, yang dilakukan oleh oknum guru.

Menurut dia, kasus kekerasan seksual terjadi karena Kementerian Agama tidak memiliki aturan dan pedoman perekrutan guru atau pengasuh satuan pendidikan keagamaa, yang dijadikan rujukan wajib dalam merekrut guru.

Rakhmat memaparkan, satuan pendidikan pesantren di Indonesia mencapai 33.980 pesantren. Satuan pendidikan madrasah sebanyak 83.468. Dan hanya 5 persen madrasah milik pemerintah, statusnya negeri, sementara 95 persen swasta. Data ini belum termasuk pesantren atau madrasah yang belum terdaftar di Kemenag.

"Tingginya kekerasan seksual di satuan pendidikan berbasis agama karena rendahnya pengawasan dari jajaran Kemenag," ujar Rakhmat dalam keterangannya pada Jumat (10/12).

Rakhmat mengatakan, rekrutmen pengasuh atau guru oleh yayasan seyogyanya mempertimbangkan aspek asesmen psikologi, kepribadian, dan sosial. Tidak hanya aspek pedagogi dan profesional.

"Guru seharusnya memiliki kompetensi spiritual, sosial, emosional, dan kepribadian yang baik. Termasuk asesmen potensi perilaku seks menyimpang guru seperti pedofilia," kata dosen sosiologi pendidikan ini.

Karena itu, alumni Perancis ini meminta Kemenag mengkroscek ulang lembaga pendidikan berbasis agama yang belum terdaftar, kemudian didaftarkan resmi.

Kemenag dan Kanwil Kemenag daerah wajib melakukan pengawasan sistematis dan berkala terhadap pesantren atau lembaga pendidikan agama yang tidak terdaftar.

Iman Zanatul Haeri, Kepala Bidang Advokasi Guru P2G mengungkapkan, kekerasan seksual seperti pencabulan, pemerkosaan, dan tindakan asusila lainnya di satuan pendidikan berbasis agama bukan pertama kali terjadi.

Dalam catatan P2G, kasus kekerasan seksual yang mencuat menjadi perbincangan publik di media pada 2021, terjadi di satuan pendidikan agama baik status formal maupun non formal.

P2G mencatat kasus di 27 kota/kabupaten: Jombang, Bangkalan, Mojokerto, Trenggalek, Ponorogo, Lamongan, dan Sidoarjo (Jatim); Kubu Raya (Kalbar); Lebak dan Tangerang (Banten), Bantul (Yogyakarta), Padang Panjang dan Solok (Sumbar); Aceh Tamiang (Aceh); Ogan Komering Ilir dan Musi Rawas (Sumsel); Bintan (Kepri); Tenggamus, Way Kanan, Tulang Bawang dan Pringsewu (Lampung); Pinrang (Sulsel); Balikpapan (Kaltim); Kotawaringin Barat; Jembrana (Bali); Cianjur dan Garut (Jabar).

Data 27 kabupaten/kota belum termasuk kekerasan seksual yang terjadi di luar satuan pendidikan agama formal, seperti kasus pencabulan terhadap belasan anak laki-laki oleh guru mengaji di Padang dan Ternate.

Iman menambahkan, rata-rata korban kekerasan seksual di satuan pendidikan agama adalah anak di bawah umur, usia di bawah 18 tahun bahkan ada yang usia 7 tahun, seperti kasus di Pondok Pesantren Jembrana. Umumnya kekerasan seksual dilakukan berkali-kali dalam kurun waktu lebih dari 1 tahun. Bahkan untuk kasus di Trenggalek, korbannya sangat banyak sampai 34 santriwati.

"Korban kekerasan seksual tidak selalu santri perempuan, juga santri laki-laki seperti kasus Bantul, Sidoarjo, Jembrana, Solok, dan korban pedofilia terbesar hampir 30 santri di pesantren Ogan Komering Ilir," tutup dia.

KEYWORD :

Kekerasan Seksual Pelecehan Santri P2G Kementerian Agama




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :