Kamis, 25/04/2024 17:29 WIB

Anggota DPR: Pemerintah Jangan Mau Didikte Asing Dalam Pengelolaan Energi Nasional

Krisis energi di Inggris yang menjalar ke Eropa harus menjadi pelajaran bagi pengelolaan transisi energi kita, terutama terkait semangat untuk menghentikan lebih cepat operasi PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) dan menggenjot EBT (energi baru terbarukan).

Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mulyanto

Jakarta, Jurnas.com - Pemerintah harus mencermati betul penyebab krisis energi yang terjadi di Inggris dalam sepekan terakhir. Indonesia diharapkan bisa mengambil pelajaran, sehingga tidak mengalami hal serupa di kemudian hari.

Begitu kata anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto dalam pesan elektronik yang dikirimkan ke redaksi, Kamis (30/9).

Hal yang sama diutarakan Mulyanto dalam Rapat Panja Listrik Komisi VII DPR RI dengan Dirjen Gatrik Kementerian ESDM dan Dirut PLN, kemarin.

"Krisis energi di Inggris yang menjalar ke Eropa harus menjadi pelajaran bagi pengelolaan transisi energi kita, terutama terkait semangat untuk menghentikan lebih cepat operasi PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) dan menggenjot EBT (energi baru terbarukan)," terangnya.

Mulyanto minta Pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM, menyusun kebijakan dan program pengembangan ketahanan energi berdasarkan pada kepentingan energi nasional. Bukan sekedar ikut-ikutan tren dunia apalagi didikte pihak pemodal.

"Manajemen energi kita harus benar-benar berdasar pada national interest bukan sekedar latah atau didikte keinginan pihak luar. Karena ujung-ujungnya yang akan merugi dan menjadi korban adalah rakyat dengan menanggung harga energi yang mahal. Dalam rangka mensejahterakan rakyat kita membutuhkan energi yang bersih dan murah. Apalagi sumber dayanya melimpah secara domestik," imbuh Mulyanto.

Wakil Ketua FPKS DPR RI Bidang Industri dan Pembangunan ini menyebutkan bahwa sebagai bagian dari masyarakat internasional, Indonesia tentu harus mengikuti aturan main yang telah disepakati bersama secara fair.

Namun di atas itu semua, kepentingan nasional terkait kesejahteraan masyarakat adalah yang utama. Jangan sampai Indonesia didikte dan dipaksa mengikuti kemauan pihak luar, apakah melalui pemboikotan bank-bank internasional terhadap PLTU atau melalui kebijakan-kebijakan lain yang dapat merugikan masyarakat.

"Kasus Inggris yang kembali ke batubara adalah contoh aktual untuk kita. Hukum besi dunia memang seperti itu. Di atas hukum internasional tetap ada hukum domestik, yakni nasional interest masing-masing negara," kata Mulyanto.

"Tidak mungkin Inggris mengorbankan masyarakatnya demi komitmen atas energi bersih mereka. Tetap yang utama adalah kesejahteraan rakyat mereka. Setiap negara fokus untuk memperjuangkan kepentingan nasional mereka. Kita pun harusnya demikian. Kesejahteraan masyarakat kita adalah hal yang utama. Jangan mau dicocok-hidung oleh pihak asing. Termasuk dalam masalah energi," tandasnya.

Sebelumnya diberitakan dalam dua pekan belakangan Inggris mengalami krisis pasokan energi. Hal ini disebabkan karena tidak mulusnya proses transisi energi mereka dari pembangkit listrik batu bara ke gas.  Akibatnya distribusi gas terganggu dan harga melambung, sehingga menyebabkan kelangkaan.

Akibat gangguan tersebut maka produksi energi menjadi terbatas. Masyarakat Inggris kalut dan melakulan aksi panic buying. Untuk mengatasi masalah tersebut Pemerintah Inggris akhirnya menetapkan kembali penggunaan batu bara untuk produksi energi.

Indonesia juga tengah intens membahas kebijakan transisi energi ini dengan meningkatkan porsi pembangkit listrik dari sumber EBT dan mengurangi peran energi fosil.  Ditargetkan tahun 2060 Indonesia bebas dari emisi karbon.

KEYWORD :

Warta DPR Komisi VII DPR Mulyanto PKS Energi ESDM




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :