Jum'at, 26/04/2024 00:53 WIB

Pengamat: Fokus Pertahanan Nasional Masih di Darat

Idealnya dengan bentuk negara kepulauan, musuh dipukul jauh di ujung titik terluar batas maritim nasional.

Direktur Eksekutif The Namarin Institute Siswanto Rusdi. Foto: kwp/jurnas.com

JAKARTA, Jurnas.com – Pengamat kemaritiman dari The Namarin Institute Siswanto Rusdi menilai bahwa konsep pertahanan nasional masih berfokus kepada kontinental atau daratan, bukan pertahanan maritim dan udara.

Hal itu disampaikan Rusdi dalam diskusi Empat Pilar MPR RI tentang “Meneguhkan Kedaulatan Maritim NKRI, Penguatan Pertahanan dan Keamanan” di Media Center Parlemen, Jakarta, Senin (27/9/2021).

“Kalau kita lihat konsep pertahanan kita, itu namanya konsep pertahanan pulau-pulau besar seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Jadi pertahanan kita ditumpukan kepada lima pulau besar dengan mengandalkan kepada kekuatan TNI Angkatan Darat. Konsep inilah yang sampai hari ini masih dianut.” katanya.

“Sementara TNI angkatan laut dan TNI angkatan udara adalah elemen pendukung dari pertahanan tersebut,” imbuhnya.

Menurut Rusdi idealnya dengan bentuk negara kepulauan, musuh dipukul jauh di ujung titik terluar batas maritim nasional. Dengan demikian, Indonesia harus memiliki TNI Angkatan Laut dan TNI Angkatan Udara yang kuat.

“Bayangkan saja sekuat apa pertahanan dan keamanan maritim kita dengan jumlah personel TNI AL yang hanya sekitar 70 ribuan dengan alutsista yang belum mencapai minimum essential force dibandingkan dengan luas wilayah laut yang mencapai 3,25 juta km2,” kata Siswanto.

Bandingkan juga misalnya dengan Singapura,  yang luas wilayah negaranya jauh lebih kecil dibanding Indonesia, tetapi armada-armada perangnya ada disimpan di mana-mana, seperti di Taiwan dan negara-negara lain.

“Tidak perlu dibandingkan dengan negara-negara maju dan super power seperti Amerika, Inggris, Jepang, Australia, dan negara-negara kuat lainnya,” kata Siswanto.

Menurutnya, untuk menegakkan kedaulatan di laut juga tidak terlalu mudah, terutama di laut lepas di luar batas teritorial.

Memang selama ini telah diatur baik oleh aturan nasional maupun internasional yang mengacu pada UNCLOS PBB, yakni ada batas laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif, dan laut lintas internasional. “Tetapi dalam praktiknya, batas-batas laut itu maya, berbeda dengan batas daratan. Jadi memang tidak mudah menegakkan kedaultan di lautan,” ujarnya.

Siswanto menyarankan, Indonesia harus lebih banyak membangun komunikasi dalam rangka menjalin kerja sama yang saling menguntungkan dengan negara-negara kepetingan di laut.

Dengan konsep politik luar negeri yang bebas aktif, Indonesia harus memiliki kekuatan diplomasi untuk menjalin kerja sama dengan berbagai kelompok kekuatan seperti dengan Amerika Serikat bersama sekutunya, begitu juga dengan China yang telah menjadi salah satu kekuatan dunia saat ini.

“Jadi kita tidak dalam posisi tidak memihak china dan kita juga tidak dalam posisi mendukung Amerika,  meskipun bisa saja di balik layar ada kesepakatan-kesepakatan tertentu. Tetapi paling tidak inilah sikap yang menurut saya sudah tepat  sesuai dengan azas kebijakan luar negeri kita yang bebas aktif,” tutur Siswanto.

“Sambil terus berupaya mencapai minimum essential force alutsista seperti yang telah dimulai sejak era Presien SBY, Indonesia sebaiknya perbanyak dialog dan menjalin kerja sama dengan negara-negara yang memiliki kepentingan dengan maritim kita,” imbuhnya.

KEYWORD :

kedaulatan maritim lemah MPR RI




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :