Sabtu, 20/04/2024 16:11 WIB

Perkumpulan Betawi Kita: Bekasi Tanah Perjuangan dengan Berjuta Sejarah Inspiratif

Geneakologi orang Bekasi banyak dipengaruhi oleh unsur pejuang.

Diskusi Orang Betawi dan Revolusi Kemerdekaan di Bekasi

Bekasi, Jurnas.com – Mayoritas masyarakat, kini memandang Bekasi sebagai kota sejuta industri dan menjadi kawasan buruh terbesar di Indonesia. Namun pada era revolusi fisik tahun 1945 – 1949, Bekasi merupakan salah satu daerah yang paling panas perjuangannya.

Hal ini tidak terlepas dari situasi di ibukota Jakarta yang semakin memanas pasca kedatangan tentara Sekutu yang membonceng NICA (Netherlands-Indies Civil Administration) pada 16 dan 19 September 1945 di Jakarta yang ingin menjajah kembali Indonesia.

Hanya dalam hitungan hari sejak kedatangan tentara Sekutu, pada 4 - 5 Oktober 1945 tentara Belanda sudah menembaki Stasiun Tanjung Priok dan kemudian mengatur peralatan perang dengan dibantu oleh tentara Sekutu. Sejak saat itu ibukota Jakarta menjadi ajang pertempuran antara tentara NICA Belanda – Sekutu dengan para pejuang di pihak Indonesia.

Sebagai wilayah yang berbatasan dengan Jakarta, Bekasi pun merasakan imbasnya. Bekasi menjadi daerah front perjuangan terdepan di perbatasan ibukota negara Jakarta dan menjadi lokasi penting pertahanan Indonesia dari upaya Belanda yang ingin menguasai Jawa Barat melalui jalur pantai utara.

Menurut Husein Kamaly, pejuang asal Bekasi dalam bukunya “Sejarah Rakyat Di Bekasi Berjoang (1983)” menyebutkan bahwa semua kampung di Bekasi merupakan daerah pertempuran.

Bahkan dalam laporan Konsulat Jenderal Amerika Serikat tahun 1947 mengatakan bahwa Bekasi merupakan salah satu dari 10 daerah di Indonesia yang memiliki perlawanan sengit terhadap pihak Belanda.

Bekasi Mewarisi Gen Pejuang

Penulis buku “Pejuang Bekasi di Era Perang Revolusi”, Endra Kusnawan mengatakan bahwa keturunan orang bekasi, banyak dilahirkan oleh para pejuang.

“Geneakologi orang Bekasi banyak dipengaruhi oleh unsur pejuang. DNA dan darah yang mengalir di orang-orang Bekasi berasal dari orang-orang yang penuh dengan jiwa perlawanan melawan penjajah,” kata Endra Kusnawan dalam sebuah diskusi Webinar bertajuk “Orang Betawi dan Revolusi Kemerdekaan di Bekasi”.

Webinar itu diselenggarakan Perkumpulan Betawi Kita bekerja sama dengan BKMB Bhagasasi dan didukung oleh Lembaga Kebudayaan Betawi, Yayasan Baca Betawi dan Forum Jurnalis Betawi, Minggu (19 September 2021).

Menurut Endra Kusnawan, Sejak bandar Sunda Kalapa yang dikuasai oleh Kesultanan Banten berhasil direbut oleh VOC pada 1619, banyak pasukan Banten yang tetap berada di sekitar Batavia, termasuk Bekasi. Mereka tetap melakukan perlawanan, meski secara sporadis dan dengan taktik hit and run.

Pada 1624, Kesultanan Banten banyak mengirimkan tentaranya ke sekitar Kali Citarum Bekasi, barat dan timur kali untuk menguasai wilayah itu sebelum menggempur Batavia.

Beberapa waktu kemudian, Sultan Agung dari Mataram pada tahun 1628 dan 1629 pun mengirimkan tentaranya untuk mengusir VOC dan menyiapkan logistik untuk penyerbuan ke Batavia.

Pasukan Mataram tidak hanya berasal dari sekitar Yogyakarta dan Solo saja, melainkan juga dari Jawa Tengah, Jawa Timur, bahkan termasuk sebagian Jawa Barat.

Pasukan Mataram yang kalah perang dan tidak berhasil memukul mundur VOC dari Batavia, tidak berani balik lagi ke Mataram, melainkan tetap bertahan di wilayah luar Batavia termasuk Bekasi bagian utara dan timur karena takut dengan ancaman Sultan Agung yang akan memenggal kepala pasukannya jika kalah perang melawan VOC.

Selain itu, pada saat Sultan Hasanuddin dari Kerajaan Gowa kalah perang dari pasukan Aru Palakka yang dibantu oleh pasukan VOC pada 1667, banyak petinggi pasukan dan keluarga Sultan Hasanuddin yang diasingkan ke Batavia dan ada pula yang dikirim ke Tanjung Harapan, Afrika Selatan. Batavia dan sekitarnya akhirnya menjadi tempat tinggal para pejuang dan keturunan keluarga Sultan Gowa, Sulawesi Selatan sejak saat itu.

Bekasi Kota Patriot

Laskar-laskar perjuangan rakyat lahir dengan pesat di Bekasi, antara lain BPRI, Hisbullah, dan Sabilillah. Anggota laskar ini terdiri dari unsur jawara, tokoh agama, rakyat biasa, orang berpunya, dan sebagainya.

Mereka ikut bahu membahu sesuai peran dan kapasitasnya masing-masing untuk mempertahankan kemerdekaan. Bahkan tidak sedikit pula pejuang yang tidak tergabung dalam organisasi laskar rakyat mana pun, tetapi ikut juga berjuang sendiri-sendiri.

Beberapa peristiwa pertempuran hebat yang pernah terjadi di Bekasi antara lain di Sasak Kapuk, Rawa Pasung, Tambun Sungai Angke, Cibarusah, Bulak Cabe, Warung Aneng – Cibening, Kranji, Pamahan dan Penggarutan, Rorotan – Desa Gapuramuka – Tambun Lobangbuaya – Bulak Sentul – Kaliabang Nangka.

Dalam berbagai peristiwa di Bekasi, tak sedikit tercatat peran KH. Noer Ali, M. Lubis, KH. Darip,  Mayor (AL) Madnuin Hasibuan, Mayor Sambas Atmadinata, Mayor Sadikin, Mayor Katamsi, Letkol Moeffreni Moe’min, R. Mardzuki, Mualim, Arnaen, Nausan, H. Djole, Husein Kamaly dan masih banyak lagi.

Sebagai daerah yang sejak ratusan tahun lalu merupakan masyarakat heterogen, membuat pihak sekutu dan Belanda kesulitan untuk memadamkan bara api yang berkobar di dada masyarakat Bekasi. Sebab tidak ada tokoh yang bisa membuat masyarakat menghentikan perlawanan.

Hal ini ditunjukkan ketika KH Darip, panglima laskar Barisan Rakyat (BARA) yang berpengaruh di daerah Klender dan sekitarnya yang saat itu masuk dalam wilayah Bekasi, tertangkap oleh tentara Belanda pada 1947, perlawanan rakyat Bekasi masih terus terjadi. Ini menandakan bahwa jiwa patriot orang-orang Bekasi tidak tergantung pada aspek sosok, melainkan pada visi mereka, yakni mereka tidak ingin dijajah lagi. Dan penjajah harus hengkang dari tanah mereka untuk selamanya. 

Realitas sejarah kepahlawanan serta nasionalisme rakyat Bekasi pada masa perjuangan revolusi fisik seperti tersebut di atas,  tergambar pula dalam sejumlah karya monumental misalnya puisi “Krawang – Bekasi” karya Chairil Anwar, lagu “Melati di Tapal Batas” karya Ismail Marzuki dan novel “Di Tepi Kali Bekasi” karya Pramoedya Ananta Toer. Oleh sebab itu wajarlah bila kemudian Bekasi dijuluki sebagai “Kota Patriot”.

Peran BKR Laut Jakarta dalam Perjuangan di Jakarta dan Bekasi

Setelah proklamasi kemerdekaan RI, pada sidang PPKI tanggal 22 Agustus 1945 ditetapkan pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan diumumkan secara resmi oleh Presiden Sukarno pada 23 Agustus 1945. Pembentukan BKR ini mempunyai tujuan untuk menjamin ketentraman umum dan sebagai alat kelengkapan negara di bidang pertahanan dan keamanan.

Pada 10 September 1945 para bahariwan di Jakarta yang dipimpin Mas Pardi membentuk Badan Keamanan Laut Pusat atau BKR Laut Pusat, kemudian ditindaklanjuti oleh BKR Laut di daerah termasuk BKR Laut Jakarta sebagai organisasi lokal pada 18 September 1945 yang dipimpin oleh Madnuin Hasibuan dan RE. Martadinata bermarkas di KBJC.

Pada tanggal 5 Oktober 1945 melalui Maklumat Presiden Sukarno No. 2/X Pemerintah Republik Indonesia membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) sebagai hasil peningkatan fungsi BKR yang sudah ada sebelumnya. Kemudian BKR Laut bertransformasi menjadi TKR Laut termasuk TKR Laut Jakarta yang dikomandani oleh Mayor (AL) Madnuin Hasibuan.

TKR Laut Jakarta merupakan bagian dari TKR Laut Divisi I Jawa Barat yang dipimpin oleh Laksamana Pertama Adam dan Resimen TKR Laut Karawang yang dipimpin oleh Letkol Laut Juned Adimiharja. Persenjataan TKR Laut Jakarta sebagian dari hasil pampasan Jepang dan ada juga dukungan persenjataan dan pakaian dari ALRI Pangkalan IV Tegal.

Pada 6 Oktober 1945, terjadi kontak senjata antara pasukan TKR Laut Jakarta pimpinan Mayor (AL) Madnuin Hasibuan dibantu Pasukan Oembaran (Pas O) pimpinan Oentoro Koesmardjo melawan pasukan Sekutu AFNEI yang membonceng tentara Belanda yang bersenjata lengkap di Kali Kresek Sunter.

Aksi TKR Laut ini mendapat dukungan pasukan TKR dan laskar rakyat di Jakarta dan mengagetkan pasukan darat Sekutu karena tidak menyangka mendapatkan perlawanan sengit dari pasukan Indonesia. TKR Laut Jakarta merupakan kesatuan TKR pertama yang bertempur dengan pasukan Sekutu.

Setelah pertempuran yang berlangsung sehari semalam itu, TKR Laut Jakarta memindahkan markasnya ke Babelan, Bekasi. Namun berbagai perlawanan sporadis tetap berlangsung hingga 19 November 1945 saat Perdana Menteri Syahrir menyerukan seluruh pasukan TKR untuk meninggalkan Jakarta. TKR Laut Pusat memindahkan markasnya bersamaan dengan pemindahan ibukota RI dari Jakarta ke Yogyakarta sejak tanggal 15 November 1945.

Sebagian besar TKR Laut di Jakarta bergeser ke Cirebon, Tegal, Banten dan Yogyakarta. Hanya ada dua pasukan TKR Laut yang masih bertahan di Jakarta dan sekitarnya yaitu Pasukan Oembaran (Pas O) yang dipimpin Mayor Oentoro Koesmadjo dan TKR Laut Jakarta yang dipimpin Mayor Madnuin Hasibuan.

Pada perkembangannya kemudian, Pasukan Oembaran pimpinan Oentoro Koesmardjo terus bergerak ke timur sampai ke Malang sehingga bertemu dengan pasukan induk ALRI di Jawa Timur. Sedangkan TKR Laut Jakarta pimpinan Mayor Madnuin Hasibuan tetap berjuang di tempat asalnya, Jakarta dan sekitarnya dan kehilangan induk pasukannya. Oleh karena itu mereka bergabung dengan TKR Resimen V Jakarta pimpinan Letkol Moeffreni Moe’min.

Selain peristiwa pertempuran di Kali Kresek Sunter, TKR Laut pimpinan Madnuin Hasibuan terlibat beberapa pertempuran dan operasi antara lain Pertempuran Sasak Kapuk Bekasi (kini Pondok Ungu) bersama Laskar Hisbullah pimpinan KH. Noer Ali  melawan Pasukan Inggris pada akhir November 1945, pertempuran Pulau Puter Tambun dan Cileungsi, melarikan dua kapal torpedo dan peralatan bengkel ke Karawang dan Cirebon dan pemulangan tawanan Perang Dunia II.

Kepala Subdis Penulisan & Produksi – Dinas Sejarah TNI AL, Kolonel Laut (KH) Heri Sutrisno mengatakan bahwa, “Keberadaan TKR Laut Jakarta dan nama Mayor (AL) Madnuin Hasibuan hampir tidak dikenal publik dan bahkan tidak ditemukan keterangan tentang pasukan ini dalam Buku Sejarah TNI Angkatan Laut,” kata Heri Sutrisno.

“Karena sejak Agresi Militer Belanda II (Desember 1948)  Mayor (AL) Madnuin Hasibuan dan sebagian pasukannya tidak bergabung ke induk ALRI di Jawa Timur dan memilih bergabung sebagai bagian dari Laskar Hisbullah Bekasi dan berjuang bersama KH. Noer Ali hingga akhir perang kemerdekaan Desember 1949,” tambah Heri Sutrisno.

Terlupakannya BKR/TKR Laut Jakarta disebabkan tidak ditemukannya catatan satuan ini pada arsip ALRI dan penuturan para pelaku sejarah setelah Reorganisasi dan Rasionalisasi ALRI pada tahun 1948.

Sebenarnya Mayor (AL) Madnuin Hasibuan sudah berupaya membuka kontak dengan ALRI Pangkalan II Cilacap lewat perwakilan TKR Cilacap di Jakarta, namun gagal karena keburu ketahuan musuh sehingga Komandan TKR Laut Jakarta itu tertangkap pada tanggal 5 Desember 1945, namun dilepaskan tanggal 10 Desember 1945. Para perwira AL yang sebelumnya pernah berinteraksi dengan BKR/TKR Laut Jakarta juga mengira satuan ini telah dilikuidasi ke satuan lain bersamaan dengan pindahnya ibukota ke Yogyakarta.

Dalam perjalanan kariernya, Mayor (AL) Madnuin Hasibuan pernah terpilih menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bekasi yang pertama (1951 – 1956) bersamaan dengan terpilihnya KH. Noer Ali sebagai Wakil Ketua Dewan Pemerintahan Daerah (DPD) Bekasi pada periode yang sama.

*Pentingnya Pengenalan Sejarah Kepada Generasi Muda*

Dalam kesempatan yang sama, Pegiat sejarah sekaligus pelaku reenactor (pereka ulang sejarah), Beny Rusmawan, mengingatkan bahwa, Peran orang Bekasi asli dalam perjuangan revolusi fisik di Bekasi bukan berarti menafikan peran etnis lain yang ikut berjuang dalam mempertahankan kemerdekaan di Bekasi.

“Ini dapat dilihat dari kiprah perjuangan Madnuin Hasibuan yang berasal dari Sipirok, Sumatera Utara di Bekasi dan peran laskar-laskar dari etnis lain yang ikut bertempur di wilayah Bekasi dan sekitarnya,” kata Beny Rusmawan.

Upaya untuk melakukan penelitian dan mengenalkan sejarah perjuangan rakyat Bekasi khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya selama masa revolusi fisik tahun 1945 - 1949 kepada generasi muda mesti lebih ditingkatkan lagi, termasuk melalui diskusi seperti yang dilaksanakan oleh Perkumpulan Betawi Kita ini.

Juga melalui saluran media sosial yang sering digunakan oleh generasi milenial, agar generasi muda dapat mengambil pesan moral berupa nilai-nilai kepahlawan tanpa pamrih dari para pejuang kita, dalam mengisi kemerdekaan demi mewujudkan masyarakat adil dan makmur di bumi nusantara.

Sekedar informasi, Acara ini dilaksanakan secara daring melalui aplikasi Zoom Meeting dan luring di markas BKMB Bhagasasi, Kota Bekasi yang diikuti oleh 60-an peserta dengan berbagai macam latar belakang dan tidak hanya dari Jabodetabek, banyak juga dari Jawa Timur. Mulai dari mahasiswa, guru-guru, kepala sekolah, pegiat literasi, peminat kebudayaan Betawi, hingga aktivis Betawi.

KEYWORD :

Perkumpulan Betawi Kita Bekasi NICA Belanda DNA dan Darah BARA




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :