Jum'at, 26/04/2024 06:31 WIB

Perlu Instrumen Hukum Yang Bersifat Spesifik untuk Melindungi Simbol Agama

Berulangnya penistaan terhadap agama dan simbol semua agama yang diakui di Indonesia, membuktikan diperlukannya instrumen hukum yang bersifat lex specialis.

Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid (HNW). (Foto: MPR)

Jakarta, Jurnas.com - Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, mengutuk keras penggunaan lembaran-lembaran Al Quran sebagai pembungkus dan bahan petasan, yang terjadi di Ciledug, Tangerang. Hidayat juga sepakat dengan MUI dan Muhammadiyah yang menegaskan hal tersebut merupakan perbuatan penistaan terhadap Al Quran, kitab Sucinya Umat Islam.

Karena itu, menurut Hidayat kasus tersebut perlu diusut tuntas. Dan diberikan sanksi hukum yang tegas, agar tak berulang. Apalagi, kasus ini sempat viral di medsos. Itu pertanda peristiwa tersebut sudah jadi perhatian publik.

Berulangnya penistaan terhadap agama dan simbol semua agama yang diakui di Indonesia, membuktikan diperlukannya instrumen hukum yang bersifat lex specialis. Yaitu, instrumen hukum yang bisa melindungi simbol agama-agama di Indonesia, agar terjadi perulangan penistaan agama, tokoh agama maupun simbol agama-agama di Indonesia.

“Tindakan tegas polisi harus segera dilakukan agar tidak menimbulkan keresahan di kalangan umat Islam yang sangat menghormati Al Quran sebagai Kitab Suci. Juga agar kesucian Agama dan ajarannya tetap terjaga, sehingga ajaran Agama dapat dijalankan untuk kebaikan kemanusiaan, dan harmoni kerukunan antar Umat beragama juga selalu dapat dijalankan,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Senin (13/9/2021).

HNW sapaan akrab Hidayat Nur Wahid mengatakan, untuk mendukung penegak hukum menjaga ketertiban terkait keharmonisan umat beragama, diperlukan juga instrumen hukum yang lebih memadai dan spesifik/khusus (lex specialis) untuk melindungi simbol Agama secara efektif dan sistematis.

Saat ini kata HNW instrumen hukum yang tersedia belum menimbulkan efek jera kepada pelaku penistaan terhadap agama Islam dan simbolnya, sehingga masih terus terjadi. Bahkan ada tokoh Budha yang heran dengan terus terjadinya penistaan terhadap Agama Islam (Simbol/Tokohnya) di Indonesia, Negara Pancasila, yang mayoritas warganya justru beragama Islam.

“Selain dijadikan sebagai bungkus petasan, agama Islam juga beberapa kali menjadi bahan lawakan atau candaan. Itu terjadi karena permisifnya publik, juga karena tidak ada sanksi hukum yang tegas, sehingga para penista Agama / Simbol Agama mengira mereka tidak melakukan pelanggaran hukum, sehingga nista itu terulang lagi dan lagi,” ujarnya.

Selama ini perbuatan penistaan agama kata HNW kerap kali diusut dengan UU PNPS No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahaan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Atau Pasal 156s KUHP, dengan ancaman maksimal 5 tahun. “UU tersebut hanya terdiri dari 5 pasal, jadi tidak secara komprehensif mengatur perlindungan terhadap Agama atau Simbolnya seperti Rumah Ibadah maupun Kitab Suci,” ujarnya.

Oleh karena itu, HNW mengingatkan Dewan Perwakilan Rakyat sedang menyiapkan RUU Pelindungan Tokoh Agama dan Simbol Agama (RUU PTASA). Nantinya, RUU PTASA, ini merupakan salah satu upaya untuk memberikan perlindungan terhadap semua Agama yang diakui di Indonesia dan simbol-simbolnya.

“Ini seharusnya bisa menjadi fokus prioritas DPR, agar segera diundangkan. Agar kejadian penistaan Agama dan Simbol Agama yang meresahkan masyarakat, tidak terulang lagi,” ujarnya.

Dalam draft RUU PTASA, itu menurut HNW dijelaskan secara rinci mengenai simbol-simbol Agama-Agama yang diakui oleh Negara Indonesia. Dan yang dihormati oleh pemeluk-pemeluknya.

Tujuannya adalah selain memberikan kepastian hukum, juga memberi pemahaman terhadap masyarakat agar tidak melakukan pelanggaran hukum berupa penistaan Agama. Dan supaya Agama dan Simbol Agama yang terkait dengan sila I Pancasila dan pasal 29 UUDNRI 1945, bisa dihormati dan dijaga.

RUU PTASA, kata HNW juga mengatur upaya sistematis dalam melakukan perlindungan. “Selain memberikan sanksi yang lebih keras, juga ada upaya preventif, berupa edukasi kepada masyarakat untuk menghormati simbol semua Agama yang diakui di Indonesia, sehingga tidak menjadi bahan penistaan, lawakan/candaan atau hal-hal lain yang tidak meletakkannya pada posisi yang dihormati. Agar terciptalah kondisi yang lebih kondusif untuk merawat toleransi dan harmoni juga kokoh kuatnya kedaulatan NKRI,” tuturnya.

Di tengah kesulitan ekonomi dan sosial akibat covid 19, menurut HNW mestinya Agama dan simbol-simbolnya makin dihormati dan jadi rujukan, karena memberikan solusi untuk penguatan spirit kehidupan atasi tantangan-tantangan. Jangan malah terus dibiarkan terjadinya penistaan dalam berbagai modusnya, yang bisa berdampak sangat negatif untuk eksistensi harmoni Bangsa dan keutuhan NKRI.

KEYWORD :

Kinerja MPR Hidayat Nur Wahid Simbol Agama Penistaan Instrumen Hukum




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :