Senin, 16/12/2019 17:01 WIB
Jakarta, Jurnas.com - Ketua Dewan Adat Suku Dayak Bakati, Gustian Adiwinata menyebut pelarangan membakar hutan untuk pembukaan ladang bukan merupakan jalan keluar yang tepat.
Menurut dia, selama ini masyarakat Suku Dayak Bakati memiliki tradisi membakar hutan, untuk disulap sebagai sawah, yang nantinya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Itu pun hanya satu hektar atau 1,5 hektar. Kalau ada larangan membakar hutan, itu sama saja membunuh orang dayak," kata Gustian kepada Jurnas.com pada Senin (16/12).
Gustian menjelaskan, kondisi pertanian di Kalimantan pada umumnya berbeda dari pertanian di provinsi lainnya, termasuk Jawa dan Bali.
Terima PJ Gubernur Kaltim, Ketua MPR Dorong Pemakaian Angkutan Listrik Untuk Angkutan Tambang
Vonis Bersalah PN Banjarbaru Terhadap Terdakwa Andri Cahyadi Cs Diapresiasi Pihak Korban
Fraksi PKB Setujui Pembahasan RUU DKJ dengan Sejumlah Catatan
Sebagian besar Suku Dayak Bakati di Kalimantan, lanjut dia, hidup terpencil dan kesulitan akses. Akhirnya, mereka mau tidak mau membuka hutan dengan tujuan bertahan hidup.
"Kalau tidak dibolehkan membakar, ya buatkanlah sawah untuk orang dayak," ujar Gustian.
"Kalau dilarang membakar lebih bagus kalian (pemerintah) menyiapkan biaya hidup mereka setahun, memberikan sawah mereka satu orang dapat satu hektar. Minimal satu hektar per KK. Selesai tidak ada bakar-bakar lagi," lanjut dia.
Lebih lanjut, Suku Dayak Bakati biasanya menebang hutan mulai Juli setiap tahunnya. Kemudian pada Agustus, mereka membakar sisa tebangan tersebut untuk dijadikan ladang. Adapun selanjutnya ialah masa tanam.
"Itulah rutinitas masyarakat pada umumnya orang dayak. Karena orang dayak ini tidak seperti di Jawa ini yang membuat sawah berpetak-petak," tandas dia.
Keyword : Suku DayakPembakaran HutanKalimantan