Minggu, 03/11/2019 04:50 WIB
Washington, Jurnas.com - Rusia mengecam rencana Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump untuk mengerahkan pasukan ke ladang minyak Suriah sebagai kegiatan kriminal. Ia menuduh AS berusaha menyelundupkan minyak bernilai lebih dari "USD30 juta" per bulan.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova mengatakan, AS memompa minyak dari timur laut Suriah sembari menutupi aktivitas kriminalnya, seperti berjuan melawan kelompok Islamic State Iraq and Syria (ISIS/Daesh).
Pernyataan itu tak lama setelah Washington membalikkan keputusan sebelumnya untuk menarik semua pasukan dari timur laut Suriah. Pekan lalu, Gedung Putih mengumumkan akan mengerahkan sekitar 500 tentara ke ladang minyak yang dikendalikan pasukan Kurdi yang didukung AS.
Kepala Pentagon, Mark Esper mengatakan, tujuan pengerahan pasukan tersebut untuk mengamankan sumber daya minyak dari ISIS. Washington, katanya, akan menggunakan kekuatan luar biasa terhadap aktor lain yang menantang AS, termasuk pemerintah Suriah sendiri.
Donald Trump Dikabarkan Ingin Kendalikan Departemen Kehakiman dan FBI
Trump dan Sekutunya Perkuat Dasar untuk Melawan Potensi Kekalahan dalam Pemilu
Terkait Perang Gaza, Yordania Gagalkan Rencana Pengiriman Senjata untuk Penentang Monarki
Pekan lalu, Presiden AS, Donald Trump menyarankan agar Washington mengejar kepentingan ekonomi dengan mengendalikan ladang minyak.
"Kami ingin menyimpan minyak, dan kami akan melakukan sesuatu dengan Kurdi sehingga mereka memiliki uang, memiliki aliran uang. Mungkin kami akan memiliki salah satu perusahaan minyak besar kami untuk masuk dan melakukannya dengan benar," kata Trump.
Damaskus saat ini sangat membutuhkan cadangan minyak utama untuk mendapatkan pendapatan dan memenuhi kebutuhan energinya di tengah sanksi-sanksi Barat sepihak yang menargetkan negara yang dilanda perang itu.
Karena sanksi dan perang, Suriah saat ini mengekstraksi hanya 10 persen dari kapasitas produksi minyak sebelum perang. Zakharova mengatakan, AS menjilat sanksi sendiri terhadap Suriah dengan merebut minyak negara itu.
Ia menambahkan bahwa Washington secara hipokrit menyatakan komitmen terhadap beberapa nilai demokrasi dan hukum internasional sementara secara terang-terangan melanggar kedaulatan negara.
Juru bicara itu menekankan bahwa adalah hak masyarakat internasional untuk mempertanyakan kegiatan Amerika, memperingatkan bahwa pasukan AS tidak akan meninggalkan daerah itu dalam waktu dekat.