Jum'at, 01/02/2019 16:30 WIB
Tehran,Jurnas.com - Salah satu ulam Iran, Ayatollah Ruhollah Khomeini kembali ke negaranya setelah 14 tahun di pengasingan di Turki, Irak dan Prancis pada 1 Februari 1979.
Kritikus blak-blakan terhadap penguasa Iran Mohammad Reza Shah Pahlavi mendarat di Bandara Internasional Mehrabad dekat Teheran pusat, dengan penerbangan Air France dari Paris.
Dilansir dari Al Jazeera, sebelum mendarat, pesawat itu berputar di atas angkasa untuk memastikan tidak ada tank yang menghalangi landasan.
Kembalinya Khomeini setelah 40 tahun dipengasingan sangat penting bagi keberhasilan revolusi Iran. Kehadirannya akan membuka jalan bagi Iran untuk menyusun kembali perannya di Timur Tengah dan menghubungkan kembali hubungannya dengan Barat.
AS Sebut Tidak akan Terlibat Perang dalam Konflik Bersenjata Iran-Israel
Dwayne Johnson Rahasiakan Pilihannya untuk Pilpres 2024 AS Mendatang
Film Badarawuhi Di Desa Penari Tayang di USA, Ini Harapan Produser Manoj Punjabi
Pemandangan itu memperlihatkan para pendukung dan media dengan ramai menunggu untuk menyambutnya di landasan. Petugas keamanan dengan cepat mengantarnya ke mobil Mercedes Benz yang diparkir setelah melalui kerumunan banyak orang.
Ia sempat ditanya seorang jurnalis Amerika Serikat (AS), bagaimana perasaannya setelah kembali dari pengasingan, Khomeini menjawab: "Hichi (Tidak Ada)".
Dengan jalan-jalan tersumbat oleh simpatisan, Khomeini kemudian naik helikopter ke pemakaman terdekat untuk memberi penghormatan kepada demonstran yang terbunuh oleh revolusi dan berbicara kepada publik.
Dilaporkan sekitar lima hingga 10 juta menyambutnya, datang hanya beberapa hari setelah shah meninggalkan tahtanya. Ia meninggalkan negerinya yang sekarang penuh gejolak, meninggalkan aliansi Iran-AS hancur berkeping-keping. Revolusi akan mengakhiri kekaisaran Persia berusia 2.500 tahun.
"Itu adalah titik balik dalam sejarah Iran modern," kata Mohamad Marandi, seorang spesialis dalam hubungan Iran-AS di Universitas Teheran, tentang kepulangan Khomeini.
Marandi mengatakan kebangkitan Khomeini dan Republik Islam mengguncang kebijaksanaan politik konvensional. Pemikirannya adalah bahwa hanya kapitalisme atau komunisme yang dapat berkembang dan bahwa keputusan hanya dibuat di ibu kota AS, Rusia atau Inggris, tiga kekuatan dunia pada saat itu."Untuk pertama kalinya, Iran merdeka dari kekuatan asing dan memperoleh kembali kedaulatannya setelah lebih dari seabad," katanya kepada Al Jazeera.