Gagal Fokus Hak Angket KPK

Minggu, 07/05/2017 06:11 WIB

Akhirnya, teka-teki tentang serius tidaknya ancaman angket DPR pada KPK terjawab sudah. Pada rapat paripurna tanggal 28 April 2017 lalu, pimpinan DPR mengesahkan usulan penggunaan hak angket yang digagas sejumlah politisi senayan di Komisi III. 

Mula munculnya gagasan penggunaan hak angket itu dipantik oleh panasnya rapat dengar pendapat KPK dan Komisi III DPR yang berlangsung hingga dini hari tanggal 19 April 2017 silam. Komisi III mendesak KPK untuk memutar rekaman pemeriksaan saksi kasus korupsi e-KTP Miryam S Haryani, sementara KPK berkukuh tidak memenuhinya. Alhasil, Komisi III pun menggalang dukungan penggunaan hak angket.

Penggunaan hak angket sebagai respons DPR atas sikap KPK itu kemudian menuai banyak kritik. DPR dianggap melakukan intervensi politik terhadap proses hukum. Dalam pandangan umum, hak angket yang melekat pada DPR sebagai lembaga politik semestinya hanya menyasar presiden sebagai lembaga yang memiliki kekuasaan politik.

Dengan meletakkan DPR berhadapan dengan presiden, dapat dipahami bahwa sebuah lembaga hanya bisa menjadi sasaran angket DPR sejauh berada di bawah kontrol presiden. Lembaga-lembaga negara lain, termasuk lembaga-lembaga negara penunjang (auxiliary state organs) yang independen seperti KPK, sejatinya bukanlah sasaran hak angket DPR.

Kesalahan penerapan hak angket yang menyasar KPK sebenarnya hanyalah akibat dari tidak fokusnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) dalam merumuskan ruang lingkup persoalan yang dapat dijadikan sasaran hak angket.

Pasal 79 ayat (3) UU MD3 menyatakan bahwa hak angket merupakan hak untuk menyelidiki pelaksanaan undang-undang atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Di luar perdebatan tentang syarat kualifikasinya, ketentuan tersebut memberi peluang perluasan (tafsir mengenai) sasaran permasalahan, bahwa selain kebijakan pemerintah juga pelaksanaan undang-undang dapat dikenai angket. Sementara pelaksanaan undang-undang terdapat di setiap lembaga negara. Apakah kemudian setiap lembaga negara bisa menjadi sasaran penngunaan hak angket DPR?

Sekuen berikutnya yang bisa menjelaskan pertanyaan ini ada di Pasal 98 ayat (7) UU MD3. Di situ ditegaskan bahwa pejabat negara dan pejabat pemerintah yang tidak melaksanakan keputusan rapat kerja komisi atau rapat kerja gabungan komisi DPR bisa menjadi sasaran penggunaan hak angket.

Ketentuan tersebut menjelaskan dua hal. Pertama, dengan menyandingkan penyebutan “pejabat negara” dan “pejabat pemerintah” dapat dipahami bahwa pembentuk UU MD3 sadar atau tidak telah memperluas sasaran hak angket hingga keluar dari rumpun eksekutif. Kedua, cakupan persoalannya juga melebar, bukan saja terbatas pada pelaksanaan undang-undang dan kebijakan pemerintah sebagaimana diterakan dalam Pasal 79 ayat (3), tetapi juga pelaksanaan keputusan komisi DPR.

Beberapa ketentuan tersebut menjadi celah bagi DPR untuk menyerang KPK dengan hak angket. Dengan dalih bahwa KPK tidak melaksanakan keputusan komisi DPR dan atau tidak melaksanakan kewenangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, DPR merasa berhak menyelidiki berbagai hal dalam tubuh KPK yang tidak dapat dipastikan batas waktu dan persoalannya.

Perluasan sasaran hak angket semacam itu tentu saja menjadi dilematis. Penggunaan hak angket terhadap pejabat negara, misalnya, UU MD3 tidak memberi ruang lingkup pengertian yang dibutuhkan tentang pejabat negara yang dimaksud. Padahal, ada pejabat negara yang karena tugas dan fungsinya dimungkinkan untuk tidak melaksanakan perintah undang-undang, seperti hakim ketika berihtiar memberikan keadilan. 

Akan menjadi kacau ketatanegaraan kita bila suatu saat terdapat hakim agung atau hakim konstitusi yang sebenarnya dijamin independensinya tiba-tiba menjadi sasaran penyelidikan panitia hak angket DPR karena dianggap melanggar undang-undang.Supremasi hukum akan berganti menjadi supremasi politik. Dan jalan ke arah itu sebenarnya telah dirintis DPR melalui penggunaan hak angket terhadap KPK yang notabene lembaga negara penunjang dengan fungsi penegakan hukum.

Hal lain yang turut memperunyam masalah adalah bahwa UU MD3 ini tidak mempertimbangkan filosofi hak angket yang merupakan pengejawantahan dari fungsi pengawasan parlemen terhadap penguasa. Desain konstitusi kita sebenarnya mengarahkan fungsi pengawasan DPR kepada presiden, bukan ke lembaga negara lain. Fokus pengawasan DPR itu bisa dilacak garis logisnya tahap demi tahap mulai dari hak angket, hak menyatakan pendapat, hingga pemakzulan presiden.

Fokus tersebut menjadi kabur ketika UU MD3 mengarahkan fungsi pengawasan DPR kepada lembaga selain presiden. Ketika hak angket membidik presiden, rangkaian tahapannya jelas. Perhatikan Pasal 208 ayat (1) UU MD3 yang menggambarkan bahwa ujung dari hak angket adalah hak menyatakan pendapat. Selanjutnya, dalam Pasal 214 ayat (2) UU MD3 disebutkan bahwa DPR menyampaikan keputusan tentang hak menyatakan pendapat kepada Mahkamah Konstitusi untuk mendapatkan putusan. Tindak lanjutnya adalah proses hukum pada tahap pemakzulan.

Kemudian bayangkan jika yang menjadi sasaran hak angket adalah pejabat negara di luar rumpun eksekutif, katakanlah pimpinan KPK. Setelah DPR menyatakan pendapat bahwa pejabat yang bersangkutan menyalahi peraturan perundang-undangan, langkah selanjutnya kemudian apa? 

*Pemerhati Hukum Tata Negara

Keyword : Hak Angket KPK DPR

TERKINI
Richie Sambora Harus Berlutut ke Jon Bon Jovi agar Livin` on a Prayer Dimasukkan ke Album Lagi Bucin, Dua Lipa Peluk Mesra Callum Turner di Jalanan Berkarier Sejak Muda, Anne Hathaway Sering Alami Stres Kronis Gara-gara Tuntutan Pelecehan Seksual, Lady Gaga Batalkan Pesta Lajang Adiknya