Kamis, 04/04/2024 12:58 WIB
Jakarta, Jurnas.com - Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Arief Hidayat menanggapi penjelasan ahli dari Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Andi Muhammad Arsun terkait putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat usia capres-cawapres pada Pilpres 2024.
Andi menilai putusan MK Nomor 90 itu bersifat self executing, yaitu putusan tidak memerlukan regulasi atau perubahan ayat, pasal maupun isi dalam UU.
Andi menyamakan putusan MK nomor 90 tersebut dengan dengan putusan Nomor 102/PUU-VI/2009. Sebaliknya, menurut Arief tindak lanjut dua putusan tersebut tidak dapat disamakan.
"Saya enggak bertanya, tapi ini didengar publik, memberikan pelajaran kepada ahli hukum yang muda-muda, supaya kalau kita bicara clear, ya," kata Arief.
Legislator PKS Dukung Arahan Prabowo Soal Mobil Dinas Maung
Gantikan TKN, Prabowo Bakal Bentuk Gerakan Solidaritas Nasional
Fahri Hamzah Sebut Pembangunan Rumah Rakyat Prioritas Presiden Prabowo
"Saya hanya ingin mohon dicermati sama-sama, sebagai pelajaran semua, di dalam halaman 5 di makalah prof Arsun ditulis begini, putusan MK bersifat self executing," imbuhnya.
Arief menyebut pendapat Andi yang menilai putusan 90/PUU-XXI/2023 sebagai self executing tidak bisa disalahkan. Namun, dia meminta Andi untuk mengecek kembali argumennya.
"Pak Arsun bisa memasukkan ini sebagai self executing itu enggak masalah, karena guru besar berpendapat salah siapa tahu 10 tahun ke depan jadi teori baru kan, enggak masalah sebetulnya," kata dia.
"Tapi Pak Arsun menyamakan apa yang dilakukan KPU terhadap putusan 90, itu betul sudah dilaksanakan, tapi kalau kemudian Pak Arsun menyatakan putusan 102/PUU-VI/2009 itu sama dengan apa yang dilakukan KPU itu mohon dicek kembali, saya belum bisa menyalahkan tapi mohon dicek kembali," lanjutnya.
Arief pun menjelaskan saat MK memutuskan perkara 102/PUU-VI/2009, belum ada aturan yang mengharuskan KPU dalam membuat PKPU harus berkonsultasi kepada DPR. Dia menyebut KPU pada saat itu bisa langsung mengubah PKPU ketika perkara 102/PUU-VI/2009 telah diputuskan.
Dia mengatakan kondisi saat itu berbeda dengan sekarang. Arief menjelaskan saat ini sudah ada putusan yang memerintahkan KPU dalam membuat produk hukum harus berkonsultasi dengan DPR.
"Jadi ini tidak bisa dipersamakan, tapi kalau berpendapat putusan 90 self executing dan bisa langsung ditindaklanjuti oleh KPU tidak ada masalah pendapat itu," kata dia.
"Tapi tidak bisa disamakan dengan putusan 102, karena putusan 102, langsung malamnya Pak Putu Artha (Ketua KPU saat itu), mengubah PKPU baru kalau mencoblos tidak perlu di DPT tapi mencoblos bisa dengan identitasnya," imbuhnya.
Menurut Arief, Andi harus menjelaskan secara detail dan cermat. Dia pun menyinggung sesama guru besar tidak boleh mendahului.
"Saya ingin semuanya clear, harus cermat harus persis, sama-sama guru besar tidak boleh mendahului seperti bis kota," kata Arief.
Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud menggugat hasil Pilpres 2024 ke MK karena tidak terima dengan keputusan KPU memenangkan Prabowo-Gibran.
Anies-Muhaimin ingin MK mendiskualifikasi Gibran karena tak memenuhi syarat pencalonan. Sementara itu, Ganjar-Mahfud ingin MK mendiskualifikasi Prabowo-Gibran karena melakukan kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif.