Kamis, 17/08/2023 11:20 WIB
Kepulauan Taulud, Jurnas.com - Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar menjelaskan, Nahdlatul Ulama (NU) sebagai salah satu Ormas Islam terbesar di dunia mempunyai peran strategis dalam perjuangan Kemerdekaan Indonesia.
Peran para ulama NU di masa lalu dalam memberi dukungan moral, pemikiran, dan menggerakkan umat muslim berperang melawan penjajah berbuah manis. Hingga kini 17 Agustus dinyatakan sebagai Hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (RI).
"Indonesia ada seperti ini karena adanya Nahdlatul Ulama. Itu sudah terbukti sejarah, tidak bisa dipungkiri," ungkap pria yang akrab disapa Gus Halim itu dalam Konfercab ke-1 PCNU Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, pada Rabu (16/8/2023).
Dia menyatakan bahwa Indonesia bukan negara Islam. Tetapi Indonesia adalah negara kedamaian.
Pramono Siap Sediakan WiFi Gratis di Setiap Masjid
Serap Aspirasi, Mendikdasmen Sowan ke Kantor PBNU-PGI-Persis
KPK Selisik Aliran Uang ke Gubernur dan Kadis PUPR Kalsel
"Itu (sebelum) Indonesia merdeka, karena apa? Karena NU menghargai pluralisme, perbedaan. Dan kita paham Indonesia punya banyak perbedaan dalam hal agama, suku, budaya," ucapnya.
Gus Halim menerangkan, dalam perkembangan momen Kemerdekaan itu, Piagam Jakarta yang sempat menjadi rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengalami perubahan, bahkan kontroversi antara dua kelompok, yaitu kelompok Islam dan kelompok Timur.
Dalam isi Piagam Jakarta, lanjut Gus Halim, ada tujuh kata yang dihapus, yaitu `Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.`
Penghapusan tujuh kalimat tersebut dari Pembukaan UUD 1945 terjadi pasca-proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Tanggal 17 Agustus 1945 sore hari, Mohammad Hatta didatangi oleh Laksamana Maeda, perwira angkatan laut Jepang.
Maeda menyampaikan ketidaksetujuan para tokoh Indonesia bagian Timur atas pemilihan kata-kata tersebut.
Sebab, hal ini berarti rumusan tersebut hanya berlaku bagi kaum Islam saja, tidak untuk pemeluk agama lain.
Mengatasi ketegangan itu, kata Gus Halim, ulama NU lantang mengusulkan penghapusan kalimat panjang itu, supaya diganti dengan Ketuhanan yang Maha Esa.
"NU tampil di depan atas restu Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy`ari. Menghapus kalimat-kalimat panjang kemudian hanya Ketahanan yang Maha Esa," ujar Gus Halim.
Dan hari ini, lanjut Gus Halim, alhasil, tidak hanya masyarakat Indonesia Timur yang mampu menerima dengan lapang usai usulan itu ditetapkan.
Tetapi seluruh kelompok dan elemen bangsa Indonesia mengapresiasi dan mendukung pemilihan kata yang menaungi seluruh keyakinan umat beragama di nusantara.
"Ketika rumusannya seperti itu, teman-teman kita dari Indonesia Timur mengatakan, kalau itu yang dipakai saya ikut menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia," pungkasnya.