Mengupas Pemikiran Denny JA Soal Agama di Pesantren: Kitab Suci di Abad 21

Minggu, 09/04/2023 17:22 WIB

Bogor, Jurnas.com - Pesan-pesan agama seperti yang termaktub dalam kitab suci seyogyanya dipahami secara kontekstual. Dengan begitu ia akan terus relevan dan mampu menjawab kebutuhan umat di setiap zaman. Pemahaman tekstual atas kitab suci akan melahirkan pandangan hitam-putih, dan itu berdampak buruk bagi kehidupan yang sebenarnya sangat kompleks.

Demikian intisari pandangan yang disampaikan oleh Tuan Guru Haji (TGH) Munawar M. Ali, Pengasuh Pondok Pesantren Kampung Al-Quran, Pamijahan, Bogor, dalam diskusi dan bedah buku karya Ahmad Gaus yang berjudul “Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama: Sembilan Pemikiran Denny JA Soal Agama di Era Google".

Selain menghadirkan narasumber Ahmad Gaus sebagai penulis buku, acara yang berlangsung Sabtu (8/4) itu dihadiri oleh puluhan santri, para ustadz, dan mahasiswa beberapa perguruan tinggi di Bogor dan Jakarta.

Buku mengenai pemikiran Denny JA itu sebenarnya mengupas berbagai isu yang diangkat dari hasil-hasil penelitian kuantitatif. Namun diskusi ini secara spesifik mengambil salah satu tema dalam buku tersebut yakni Kitab Suci di Abad 21. Hal tersebut sengaja dilakukan karena dikaitkan dengan momen Nuzulul Quran pada 17 Ramadan ini.

"Nama pesantren ini juga kan Kampung al-Qur’an, jadi tema mengenai kitab suci ini sangat relevan untuk kita bahas di sini,” ungkap TGH Munawar M. Ali.

Lebih lanjut ia menyatakan bahwa pihaknya menyambut baik pembahasan buku semacam ini karena akan memperkaya khazanah pesantren yang selama ini berkutat pada kitab-kitab klasik. 

Sementara itu Gaus dalam pemaparannya mengatakan, ia tertarik menulis mengenai pemikiran Denny JA soal fenomena keagamaan karena ia (Denny JA) bukan ulama atau ahli agama, melainkan seorang ilmuwan sosial dan ahli riset. Dengan begitu pandangannya mengenai agama akan menunjukkan corak yang berbeda, dan memberi kontribusi dari arah disiplin ilmu sosial.

Menurut Gaus, pakar penelitian kuantitatif itu memiliki pandangan yang kontras dengan arus utama yang terbelah dalam dua kelompok besar. Kelompok pertama, kaum fundamentalis yang memandang kitab suci sebagai kitab hukum. Oleh mereka, kitab suci dijadikan alat untuk tujuan tertentu sepertti membenarkan terorisme. Kitab Torah digunakan oleh kaum fundamentalis Yahudi untuk melenyapkan Palestina.

"Bible digunakan oleh kaum fundamentalis Kristen untuk menyerang LGBT, aborsi, dsb. Kelompok yang kedua adalah kaum sekuler dan orang-orang rasional pemuja ilmu pengetahuan yang melihat kitab suci dengan pandangan sinis. Bagi mereka, kitab suci hanya merupakan narasi pra-sains dan karena itu tidak lagi relevan untuk masa sekarang,” katanya.

Dalam diskusi menjelang buka puasa tersebut Gaus mengatakan bahwa kedua sudut pandang itu sama-sama kehilangan perspektif dalam menangkap esensi yang sebenarnya dari kitab suci. Kaum fundamentalis tidak mampu melihat khazanah yang terpendam dalam banyak kitab suci. Kaum sekular terperosok pada prasangka mereka sendiri sehingga juga mengalami hal yang sama dengan kaum fundamentalis.

Karena itu Gaus mengajak peserta mempertimbangkan gagasan Denny JA untuk mengapresiasi ribuan kitab suci yang diwariskan oleh 4.300 agama yang ada saat ini. Jangan seperti kaum fundamentalis yang hanya memandang kitab suci sebagai kitab hukum, dan kaum sekuler yang melihat kitab suci sebagai dongeng.

Terhadap kitab-kitab suci, ujar Gaus, kita harus mengembangkan sikap yang inklusif. Tidak mungkin kita mengabaikan warisan peradaban dunia tersebut begitu saja. Sebab di dalamnya ada harta terpendam yang mengajarkan mengenai hubungan yang kudus pada yang gaib.

Dalam hal ini, ujar Gaus, kita perlu mendengarkan pemikiran Denny JA yang sangat penting bahwa agama-agama adalah warisan kekayaan kultural milik bersama umat manusia. Pandangan seperti ini merupakan antitesa terhadap pandangan teologis bahwa agama-agama adalah kebenaran mutlak. Sebab jika pemahaman mutlak seperti yang terus menerus diwariskan secara turun temurun, maka generasi masa depan akan mewarisi konflik agama.

"Sekarang sudah saatnya kita stop pandangan mutlak-mutlakan seperti itu, kita ubah paradigma. Mulai sekarang kita menggunakan paradigma dari Denny JA bahwa agama adalah warisan bersama yang harus kita hargai,” tegas Gaus.

Pandangan fatalistik dan absolut terhadap agama dan kitab suci seperti yang diperlihatkan oleh kaum fundamentalis maupun kaum sekular, lanjutnya, hanya mempersempit ruang hidup kita di zaman yang ditandai oleh persilangan aktif di antara elemen-elemen budaya dan agama di kancah global.

Kitab Suci sebagai Narasi Sastra

Cara lain untuk memahami kitab suci yang juga bisa dipertimbangkan, tidak hanya mencari sisi keimanan dan sisi mistiknya, melainkan dapat juga memperlakukan kitab suci itu sebagai sastra. Ujar Gaus, Denny JA sudah mengembangkan pandangan ini dengan memberi contoh bagaimana masyarakat modern dapat menikmati Mahabarata dan La Galigo sebagai karya sastra walaupun bagi orang yang mengimaninya itu adalah kitab suci.

Hal ini penting karena sudut pandang sastra tidak terikat pada realitas, melainkan pada narasi estetika. Salah satu alasan mengapa kitab suci sekarang banyak diabaikan karena hilangnya sudut pandang ini.

Dengan menukil data-data dari Denny JA, Gaus memberi contoh bagaimana pandangan masyarakat di negara maju seperti Amerika Serikat terhadap kitab suci. Ketika publik di Amerika ditanya seberapa seringkah mereka membaca kitab suci, hasilnya: yang membaca kitab suci setidaknya sekali seminggu ada 35 persen; namun yang sangat jarang membaca kitab suci dan yang tidak pernah lagi membaca kitab suci jumlahnya lebih banyak yakni 45 persen.

Riset ini mengagetkan karena Amerika Serikat selama ini dianggap sebagai contoh negara Barat yang sangat tinggi apresiasinya pada agama. Ternyata hasil riset pada 2014 lalu itu membuktikan hal yang sebaliknya.

Ketika ditanya bagaimanakah cara mereka melihat kitab suci, dan bagaimana sebaiknya kitab suci ini dipahami, jawabannya 39 persen mengatakan bahwa kitab suci itu harus dibaca secara tekstual atau apa adanya.

Apa yang tertulis begitulah pula yang harus diartikan, dan begitulah pula yang harus dilaksanakan. Namun 36 persen dari mereka menyatakan bahwa kitab suci itu tidak untuk dibaca secara tekstual melainkan secara metaforik yakni kandungan pesan moral atau moral teaching di balik narasi ayat-ayat tersebut.

Data-data ini menjadi latar belakang untuk memahami fenomena kitab suci di abad 21, yang dirisaukan oleh banyak orang. Kerisauan itu dianggap wajar karena kita masih berharap bahwa agama, dan tentu saja kitab sucinya, memainkan peran penting di era modern sekarang, lebih dari sekadar menjadi justifikasi dari tindakan-tindakan kekerasan seperti terorisme atas nama jihad.

Empat Pendekatan

Selanjutnya Gaus menguraikan empat pendekatan yang dibuat oleh Denny JA dalam memandang posisi kitab suci di abad 21.

Pertama adalah yang dipercayai kaum fundamentalis yang menganggap kitab suci adalah konstitusi. Maka penekanannya pada soal halal dan haram. Bahkan penting pula bagi mereka untuk mengimplementasikan hukumnya secara harfiah, misalnya hukuman melempar batu kepada mereka yang dianggap berzina hingga mati. Atau, hukum memotong tangan pencuri. Mereka benar-benar menjadikan kitab suci sebagai kitab hukum.

Kedua, kaum sekuler atau rasionalis yang menganggap kitab suci hanya narasi pra-sains. Keberadaan kitab suci di era sains saat ini dianggap janggal dan dapat menghambat kerja keilmuan yang sepenuhnya didasarkan pada riset-riset empirik, bersifat objektif, dan dapat dibuktikan. Bagi mereka kitab suci menyumbang kepada cara berpikir anti-sains dalam masyarakat. Karena itu kitab suci menurut mereka bukan saja tidak relevan melainkan juga cukup berbahaya dalam membangun peradaban ilmu pengetahuan.

Ketiga, mereka yang memandang kitab suci sebagai wacana spiritual dimana kita bisa menggali sesuatu yang kudus bahwa di alam semesta ini setinggi-tingginya cara berpikir kita tetap ada sesuatu yang tak terjangkau, yang beyond dari realitas. Sebab yang kita pahami hanyalah realitas yang bisa diinterpretasi menjadi fenomena, atau dikonstruksi oleh cara berpikir kita. Akan tetapi di luar itu ada realitas tak pernah kita ketahui, dan itu menjadi satu kekudusan yang indah.

Keempat, mereka yang melihat kitab suci sebagai karya sastra. Mahabarata, misalnya, menjadi kitab suci bagi mereka yang meyakininya. Tetapi bagi yang tak meyakininya pun tidak kehilangan momen untuk menikmati berbagai ajaran moral (moral teaching), filosofi, dan kedalaman karakter manusia yang digambarkan oleh kitab tersebut. Begitu juga mahakarya La Galigo yang merupakan warisan nenek moyang bangsa Bugis di Sulawesi Selatan.

Menurut Denny JA, keempat pendekatan dalam memahami kitab suci tersebut hadir dan berkembang di abad 21 sekarang ini. Tidak bisa kita melarang siapa pun untuk mengambil sudut pandang tertentu terhadap kitab suci mereka. Cara yang paling arif untuk ditempuh ialah saling menghargai. Debat dan dialog publik mengenai isu ini dapat menjadi panggung yang produktif untuk menghidupkan diskursus keagamaan kontemporer. Tujuannya ialah untuk memberi pencerahan pada publik bahwa ada banyak sudut pandang, ada banyak pendekatan, dalam memperlakukan kitab suci di abad 21 ini.

Bedah buku yang berlangsung di masjid dalam kompleks pesantren itu mendapat sorotan tajam dari para peserta yang umumnya mempertanyakan peran agama di era disrupsi informasi dan munculnya terminologi agama data dari sejarawan Yuval Noah Harari.

”Saya belum tuntas membaca buku ini, tapi terus terang saya sudah mendapat banyak inspirasi. Harusnya diskusi semacam ini dibuat serial. Tidak cukup hanya dua jam,” ungkap Dr. Furqon dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang didapuk menjadi moderator acara tersebut.

Sembilan Pemikiran Denny JA

Buku “Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama: Sembilan Pemikiran Denny JA Soal Agama di Era Google., diterbitkan oleh Cerah Budaya Indonesia (CBI), Maret 2023.  Di dalamnya terdapat sembilan bab yang masing-masing membahas mengenai aspek-aspek pemikiran Denny JA seputar femomena agama mutakhir dan spiritualitas, yakni: Bab 1, Iman Berbasis Riset.  Bab 2, Manusia: Dengan atau Tanpa Agama. Bab 3, Kitab Suci di Abad 21.  Bab 4, Moderasi Beragama dan Kesetaraan Warga. Bab 5, Hijrah Menuju Demokrasi. Bab 6, Perebutan Tafsir Agama. Bab 7, Menggandeng Sains dan Jalaluddin Rumi.  Bab 8, Spiritualitas Baru Abad 21, dan Bab 9, Agama: Warisan Kultural Bersama Umat Manusia.

Gaus juga meringkas pemikiran Denny JA seputar agama di era Google dalam sembilan butir sebagai berikut:

1. Pentingnya pendekatan kuantitatif untuk membuat perbandingan soal  peran agama  di masyarakat.

2. Para arkeolog berjasa mengkonstruksi ulang kisah agama.

3. Setelah Nabi tiada, tiada pula tafsir tunggal agama. Yang tersisa adalah perebutan tafsir. Penting kita memilih tafsir yang sesuai dengan prinsip HAM.

4. Islam Eropa memgembangkan tafsir Islamnya sendiri yang sesuai dengan kultur Eropa.  Kita pun di Indonesia tak perlu terikat dengan tafsir kultur Timur Tengah.

5. Bagi yang tak meyakini agama, agama dapat dinikmati sebagai sastra. Apa yang terjadi pada La Galigo (kitab suci) dapat juga terjadi pada agama lain.

6. Pentingnya mencari intisari semua agama berdasarkan the science of happiness dan neuro science. Denny JA mengembangkan spirituality of happiness.

7. Mendekat agama sebagai kekayaan kultural milik bersama. Merayakan hari besar agama lain sebagai social gathering lintas agama.

8. LGBT isu HAM masa kini. Pentingnya mengembangkan tafsir agama yang tidak mendiskriminasi kaum LGBT.

9. Perlunya menggandeng Science dan Jalaluddin Rumi.

Itulah ringkasan sembilan pemikiran Denny JA dari sembilan esai dalam buku karangan Ahmad Gaus. Namun menurutnya, ia tidak mengklaim bahwa sembilan butir itu mewakili seluruh pemikiran Denny JA yang tersebat dalam ratusan karyanya. Buku ini hanya diniatkan untuk menyorot aspek-aspek pemikiran Denny JA yang terpenting, yang terkait dengan soal agama dan spiritualitas.

 

 

TERKINI
Sindir JD Vance soal Kewarasan, Jennifer Aniston Bangga Pilih Kamala Harris untuk Pilpres AS Batal Menikah, Hubungan Channing Tatum dan Zoe Kravitz Semakin Jauh dan Renggang Tak Jadi Menikah, Channing Tatum dan Zoe Kravitz Batalkan Pertunangan setelah 3 Tahun Bersama Heidi Klum Takut Membayangkan Kostum Halloween Epiknya tak Sempurna