Sabtu, 11/02/2023 13:30 WIB
JAKARTA, Jurnas.com - Perusahaan minyak utama Amerika Serikat (AS), Chevron Corp mengatakan telah setuju untuk menjual asetnya di Myanmar kepada perusahaan Kanada MTI, dalam kesepakatan yang memungkinkannya meninggalkan negara Asia itu.
Kesepakatan itu terjadi satu tahun setelah Chevron dan perusahaan minyak lainnya memutuskan untuk meninggalkan Myanmar menyusul kudeta militer pada 2021. Chevron mengutuk pelanggaran hak asasi manusia di negara itu.
Kementerian Komunikasi Myanmar tidak segera menanggapi permintaan komentar.
Perusahaan AS pada hari Jumat mengatakan telah setuju untuk menjual dengan jumlah yang tidak diungkapkan 41,1 persen sahamnya di Proyek Yadana ke anak perusahaan MTI. Yadana memproduksi gas alam untuk keperluan rumah tangga dan diekspor ke Thailand.
Dilanda Panas Ekstrem, 61 Orang di Thailand Tewas Gegara Heatstroke
Thailand akan Rekriminalisasi Ganja, Perdana Menteri Janji Bersikap Keras terhadap Narkoba
AS Sebut Tidak akan Terlibat Perang dalam Konflik Bersenjata Iran-Israel
Produsen minyak Prancis TotalEnergies menjual asetnya dan meninggalkan negara itu pada Juli 2022.
Penjualan Chevron mengikuti strategi bisnis selama setahun di mana ia bekerja untuk mengurangi hasil penjualan yang akan berakhir dengan pemerintah militer. Perusahaan minyak yang dikendalikan negara Myanmar, MOGE, adalah bagian dari usaha patungan tersebut.
Sebelum menjual saham Yadana, Chevron untuk sementara meningkatkan partisipasinya dalam proyek tersebut dari 28 persen menjadi 41 persen, menyerap minat di TotalEnergies.
Strategi tersebut bertujuan untuk mendapatkan kendali yang lebih besar atas usaha patungan, dan mengurangi apa yang dapat dihasilkan MOGE dari transaksi atau dari aset di masa mendatang.
Pemerintah militer mengambil alih kekuasaan pada tahun 2021, menuduh adanya kecurangan dalam pemilihan umum yang dimenangkan oleh partai peraih Nobel Aung San Suu Kyi.
Sumber: Reuters