Sabtu, 16/04/2022 23:27 WIB
Jakarta, Jurnas.com – Pemerintah secara konsisten mendorong agar APBN lebih sehat sehingga efektif untuk menstimulasi perekonomian dan mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Di tengah pandemi yang masih berlangsung, manfaat APBN nyata dirasakan dalam bentuk terlaksanakannya berbagai agenda prioritas Pemerintah seperti kesehatan, perlindungan sosial, dan pemulihan dunia usaha termasuk UMKM.
Untuk semakin menguatkan fungsi APBN, Pemerintah melakukan strategi komprehensif berupa optimalisasi penerimaan negara, memperkuat kualitas belanja serta mendorong inovasi pembiayaan melalui pemberdayaan peran swasta, BUMN, dan Sovereign Wealth Fund (SWF).
Tata kelola kewajiban penerimaan negara sektor pertambangan batubara perlu dioptimalkan untuk meningkatkan kepatuhan pelaksanaan kewajiban penerimaan negara.
Sumpah yang Jadi Awal Mula Konflik Mbappe vs PSG
Rapat Koordinasi, DKPP Kumpulkan 518 Penyelenggara Pemilu di Makassar
Banjir Kritik gegara Pekerjaan Barunya, Ini Kata Klopp
Saat ini terdapat dua rezim penerimaan negara pada sektor pertambangan batubara yang berjalan bersama-sama yaitu rezim izin yang mengacu kepada ketentuan perundang- undangan yang berlaku, dan rezim kontrak dalam bentuk Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang mengacu kepada ketentuan dalam kontrak hingga berakhir.
Sebagaimana amanat Pasal 169A UU nomor 3 Tahun 2020 Tentang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), rezim kontrak yang berakhir dapat diperpanjang menjadi rezim izin, yaitu Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/ Perjanjian, dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara.
Dalam memenuhi upaya tersebut, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2022 tentang Perlakuan Perpajakan dan/atau Penerimaan Negara Bukan Pajak di Bidang Usaha Pertambangan Batubara yang ditetapkan pada 11 April 2022.
“PP ini menjadi tonggak penting sebagai landasan hukum konvergensi kontrak yang nantinya berakhir menjadi rezim perizinan dalam upaya peningkatan penerimaan negara”, kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, Sabtu (16/4/2022).
Terdapat dua bagian penting dari PP ini. Di bagian pertama, PP ini memberikan kejelasan mengenai bagaimana kewajiban pajak penghasilan bagi para pelaku pengusahaan pertambangan batubara dilaksanakan. Berbagai pelaku tersebut adalah pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), pemegang IUPK, pemegang IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian, dan pemegang PKP2B.
“Adanya kepastian hukum mengenai PPh yang lebih baik melalui PP ini diharapkan semakin memudahkan pelaku usaha di sektor ini dalam menunaikan kewajiban pajak”, lanjut Febrio.
Pada bagian kedua, Pemerintah melakukan pengaturan kembali penerimaan pajak dan PNBP bagi IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara dibandingkan sebelumnya sebagaimana amanat pasal 169A UU Minerba. Hal ini dilakukan dengan cara mengatur besaran tarif PNBP produksi batubara secara progresif mengikuti kisaran besaran Harga Batubara Acuan (HBA).
Dengan demikian, pada saat HBA rendah, tarif PNBP produksi batubara yang diterapkan tidak terlalu membebani pemegang IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian. Sebaliknya, pada saat harga komoditas naik seperti saat ini, negara mendapatkan penerimaan negara dari PNBP produksi batubara yang semakin tinggi.
Sedangkan untuk mendorong pemanfaatan produksi batubara bagi industri di dalam negeri, Peraturan Pemerintah ini mengatur di antaranya tarif tunggal yang lebih rendah sebesar 14% bagi produksi batubara untuk penjualan dalam negeri.
“Implementasi peraturan ini diharapkan tetap mampu menjaga keseimbangan antara upaya peningkatan penerimaan negara dengan upaya tetap menjaga keberlanjutan pelaku usaha, sehingga akan menjadi fondasi terwujudnya keberlanjutan pendapatan untuk mendukung konsolidasi fiskal ke depan” tutup Febrio.
Selanjutnya, Pemerintah juga memberikan kepastian hukum bagi pemegang IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian dalam melaksanakan kewajiban perpajakan dan PNBP. Hal ini dilakukan dengan cara mengatur kewajiban perpajakan dan PNBP yang mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat izinnya diterbitkan (nailed down) dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (prevailing law).
Di dalam PP, diperjelas bahwa kewajiban pajak dan PNBP yang mengikuti ketentuan nailed down adalah iuran tetap, PNBP produksi batubara, PPh Badan, Pajak Bumi dan Bangunan, PNBP di bidang Kehutanan dan Lingkungan Hidup, dan PNBP berupa bagian Pemerintah Pusat sebesar 6% serta penerimaan daerah lainnya berupa bagian Pemerintah Daerah sebesar 4% dari keuntungan bersih.
Sedangkan kewajiban pajak dan PNBP yang mengikuti prevailing law adalah PNBP lainnya selain yang sudah disebutkan di atas, pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Karbon, Bea Meterai, Bea Masuk, Bea Keluar, Cukai dan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Selain memberi kepastian dan kesesuaian dengan rezim, PP ini diharapkan mampu menangkap momentum pertumbuhan positif sektor pertambangan batubara saat ini. Hal ini terutama karena sektor ini mampu tumbuh positif sebesar 6,6% (yoy) di yahun 2021, lebih tinggi dari pertumbuhan PDB nasional.
PP ini menjadi relevan dalam memanfaatkan momentum peningkatan kontribusi sektor pertambangan batubara terhadap perekonomian melalui APBN.
Keyword : Febrio Kacaribu PP Batubara Penerimaan Negara APBN