Hasan Basri: Amandemen Kelima Penting Sebagai Penerapan Sistem Bikameral

Kamis, 18/11/2021 17:50 WIB

Jakarta, Jurnas.com - Demokrasi menuntut adanya keterlibatan rakyat untuk berpartisipasi dalam setiap pengambilan kebijakan politik nasional melalui wakil-wakilnya yang dipilih melalui pemilihan umum (Pemilu). Sementara desentralisasi tidak lain adalah memberikan tempat bagi daerah-daerah untuk mengembangkan diri guna menopang “bangunan” NKRI dalam rangka mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional, sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.

Wakil Ketua DPD RI, Mahyuddin menjelaskan, Amandemen UUD 1945 mempunyai tujuan mendasar, bahwa perubahan kesepakatan hukum negara (konstitusi) diubah untuk mewujudkan negara yang lebih demokratis.

“Motivasi perubahan yang dilaksanakan pasca reformasi menegaskan bahwa hukum berdiri diatas segalanyanya, tingkah laku dan tindak tanduk masyarakat maupun pemerintah berdasarkan hukum adalah perihal yang paling utama (Supremasi Hukum),” terang dalam agenda Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Perspektif Daerah Menuju Sistem Bikameral yang Efektif, di Universitas Udayana Bali, (17/11).

Paham demokrasi-desentralistik pada hakikatnya merupakan perwujudan dari teori terbentuknya negara yakni adanya unsur pemerintah yang berdaulat, rakyat, dan wilayah. Dalam hal ini, Presiden sesungguhnya adalah ahli waris dari unsur pemerintah yang berdaulat dalam terbentuknya suatu negara.

“Presiden memegang kekuasaan pemerintahan, DPR sendiri lahir dari hak-hak rakyat itu sendiri. Sementara DPD merupakan subjek yang merepresentasikan unsur wilayah suatu negara,” terang Mahyuddin.

Dia tegaskan, kehadiran DPD RI dalam sistem ketatanegaraan dilatar belakangi oleh aspirasi dan kebutuhan daerah yang tidak dilirik dan diperhitungkan dalam penentuan kebijakan nasional pada saat Orde Baru.

“Kekuasaan yang terpusat di pihak eksekutif pada akhirnya melalui Perubahan UUD NRI Tahun 1945 bergeser berada ditangan Legislatif. Akan tetapi dalam praktik legislasi yang selama ini telah berjalan, DPD seringkali tersudut dalam subordinasi DPR,” terang Mahyuddin.

“Tak terhitung berapa RUU yang disampaikan DPD kepada DPD tetapi nihil tindak lanjut. Sudah banyak RUU yang diajukan DPD, lalu ‘diambil’ menjadi RUU usulan DPR. Begitu sering DPD tidak  dilibatkan  sama  sekali  dalam  pembahasan RUU. Bahkan pernah, dalam suatu pembahasan RUU, DPD diundang DPR untuk memberikan pandangan,” sambungnya.

Seiring dengan dinamika perkembangan, eksistensi DPD RI menjadi kekhawatiran di berbagai kalangan. Pelaksanaan kewenangan yang diamanahkan melalui konstitusi yang memasuki periode tahun kedua dirasakan masih belum optimal. Daerah dan masyarakat masih beranggapan kehadiran DPD masih jauh dari cita-cita pendiriannya sebagai pengawal aspirasi dan kebutuhan daerah.

Senator asal Kalimantan Utara Hasan Basri menyampaikan, kedudukan DPD RI haruslah diparadigmakan sebagai lembaga legislatif yang memiliki tujuan sangat penting untuk pembangunan Indonesia khususnya daerah-daerah.

Hasan Basri menilai bahwa kewenangan DPD RI perlu diperkuat karena nafas pembentukan DPD RI memiliki nilai fundamental dalam kegiatan bernegara.

“Secara konstitusional, untuk memperkuat fungsi legislasi DPD hanya dapat dilakukan dengan melanjutkan perubahan terhadap UUD 1945. Itupun dengan catatan, memperkuat fungsi legislasi DPD tidak cukup hanya dengan mengubah Pasal 22D UUD NRI 1945. Kalau hanya terbatas pada Pasal 22D UUD NRI 1945 saja, maka perubahan potensial menimbulkan keganjilan-keganjilan dalam pelaksanaan fungsi legislasi,” jelasnya.

Menurut Hasan Basri, dengan kewenangan yang begitu terbatas, DPD tidak dapat mempunyai fungsi legislasi. Bagaimanapun, dalam teori perundang-undangan, fungsi legislasi harus dilihat secara utuh yaitu dimulai dari proses pengajuan sampai menyetujui sebuah RUU menjadi undang-undang.

“Ketimpangan fungsi legislasi menjadi semakin nyata dengan adanya Pasal 20 Ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan membentuk undang-undang berada di tangan DPR. Tidak hanya itu, Pasal 20A Ayat (1) UUD NRI 1945 secara eksplisit menentukan bahwa fungsi legislasi hanya dimiliki oleh DPR. Berkaca pada praktik sejumlah negara, ketimpangan fungsi legislasi antar-kamar dalam lembaga perwakilan bukan sesuatu yang baru,” terangnya.

Hasan Basri menambahkan, sistem bikameral yang dijalankan oleh negara Inggris, sekalipun House of Commons (sebagai lower house) jauh lebih dominan dalam fungsi legislasi dibandingkan House of Lords (sebagai upper house).

“Semua RUU harus melewati kedua kamar yang ada sebelum ditandatangani menjadi undang-undang (all Bills go through both Houses before becoming Acts) oleh Ratu Inggris. Dalam hal penundaan, House of Lord tidak dibenarkan menunda lebih dari dua sesi persidangan parlemen atau lebih dari satu tahun (bills cannot be delayed by the House of Lords for more than two parliamentary sessions, or one calendar year),” tandasnya.

TERKINI
Richie Sambora Harus Berlutut ke Jon Bon Jovi agar Livin` on a Prayer Dimasukkan ke Album Lagi Bucin, Dua Lipa Peluk Mesra Callum Turner di Jalanan Berkarier Sejak Muda, Anne Hathaway Sering Alami Stres Kronis Gara-gara Tuntutan Pelecehan Seksual, Lady Gaga Batalkan Pesta Lajang Adiknya