Sabtu, 20/04/2024 05:29 WIB

Sekjen PBB Desak Militer Myanmar Segera Hentikan Penindasan terhadap Warga Sipil

Junta memperingatkan para pengunjuk rasa agar tidak menghasut orang ke jalur konfrontasi di mana mereka akan kehilangan nyawa. Namun, para pengunjuk rasa mengabaikan peringatan itu.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyampaikan pidato selama Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss. Pada hari Jumat, ia mengumumkan UEA akan menjadi tuan rumah pertemuan persiapan menjelang KTT Iklim PBB

Jenewa, Jurnas.com - Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (Sekjen PBB), Antonio Guterres mendesak militer Myanmar untuk segera menghentikan penindasan dan membebaskan para tahanan.

Dalam pidato tahunannya di Dewan Hak Asasi Manusia PBB, Guterres hanya menyebut satu nama negara, Myanmar. "Hari ini, saya meminta militer Myanmar untuk segera menghentikan penindasan," kata dia pada pembukaan sesi ke-46 dewan yang berbasis di Jenewa.

"Bebaskan para tahanan. Akhiri kekerasan. Hormati hak asasi manusia, dan keinginan rakyat yang diungkapkan dalam pemilihan baru-baru ini," kata dia lagi, menegaskan bahwa kudeta tidak memiliki tempat di dunia modern.

Pihak berwenang Myanmar secara bertahap meningkatkan taktik mereka melawan kampanye pembangkangan sipil yang besar dan damai yang menuntut kembalinya pemimpin sipil yang digulingkan Aung San Suu Kyi.

Sabtu (20/2) menandai hari paling mematikan sejak kudeta 1 Februari. Dua orang tewas setelah pasukan keamanan melakukan aksi unjuk rasa di Mandalay dan orang ketiga ditembak mati di Yangon.

Junta memperingatkan para pengunjuk rasa agar tidak menghasut orang ke jalur konfrontasi di mana mereka akan kehilangan nyawa. Namun, para pengunjuk rasa mengabaikan peringatan itu. Pada Senin (22/2), Puluhan ribu orang berunjuk rasa di Yangon, kota dan pusat komersial terbesar Myanmar.

Guterres mengutuk kekerasan mematikan pada Sabtu tersebut. Dia mengatakan di Twitternya, penggunaan kekuatan mematikan, intimidasi dan pelecehan terhadap demonstran damai tidak dapat diterima.

Kementerian Luar Negeri Myanmar membalas, menuduh PBB dan sejumlah negara asing melakukan campur tangan mencolok dalam urusan internalnya. Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Kanada semuanya menanggapi kudeta dengan sanksi yang menargetkan jenderal tertinggi Myanmar.

Bahkan sebelum kudeta, panglima militer Jenderal Min Aung Hlaing yang sekarang memegang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif  menghadapi sanksi atas peran militernya dalam penumpasan brutal terhadap Muslim Rohingya pada 2017.

Sejak pengambilalihan tentara, 640 orang telah ditahan, menurut kelompok pemantau Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik. Di antara mereka yang menjadi sasaran adalah pekerja kereta api, pegawai negeri dan staf bank, yang meninggalkan pekerjaan mereka sebagai bagian dari kampanye anti-kudeta.

"Kami melihat perusakan demokrasi, penggunaan kekerasan brutal, penangkapan sewenang-wenang, penindasan dalam semua manifestasinya. Pembatasan ruang sipil," Guterres memperingatkan dewan.

Dia juga mengutuk serangan terhadap masyarakat sipil dan pelanggaran serius terhadap minoritas tanpa akuntabilitas, termasuk apa yang disebut sebagai pembersihan etnis terhadap populasi Rohingya. "Daftarnya berlanjut. Semuanya datang bersamaan dalam badai pergolakan yang sempurna," ujar dia.

Kepala PBB menyuarakan ukungan penuhnya kepada rakyat Myanmar dalam mengejar demokrasi, perdamaian, hak asasi manusia dan supremasi hukum.

Dia menyambut baik resolusi yang disahkan oleh dewan hak asasi awal bulan ini selama sesi khusus yang didedikasikan untuk krisis di Myanmar, menuntut pembebasan segera Aung San Suu Kyi.

Resolusi itu diadopsi tanpa pemungutan suara oleh 47 anggota dewan, tetapi beberapa negara termasuk sekutu tradisional militer Myanmar, China dan Rusia memisahkan diri dari konsensus. (AFP)

KEYWORD :

Militer Myanmar Aung San Suu Kyi Sekjen PBB Antonio Guterres Amerika Serikat




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :