Selasa, 16/04/2024 11:44 WIB

Syahrul Blakblakan Persoalan Kedelai di Depan Anggota Dewan

Petani bagaimana pun dipaksa untuk menanam kedelai tanpa adanya jaminan Harga Pokok Penjualan (HPP) yang jelas tidak akan melirik tanaman subtropis tersebut.

Menteri Pertanian (Mentan), Syahrul Yasin Limpo bersama Gurbenur Sulawesi Barat, Ali Baal Masdar dan Bupati Polewali Mandar, Andi Ibrahim Masdar melakuan panen komoditas kedelai di Desa Bumiayu, Kecamatan Wonomulyo Kabupaten Polewali Mandar, Rabu 4 November 2020. (Foto: Jurnas/Kementan))).

Jakarta, Jurnas.com -  Menteri Pertanian (Mentan), Syahrul Yasin Limpo blakblakan di depan anggota dewan persoalan kedelai yang membuat petani jarang melirik komoditas bahan baku tahu dan tempe tersebut.

Menurut Mantan Gubernur Sulawesi Selatan itu, petani selama ini kurang meminati kedelai lantaran kalah saing produk impor dari Amerika Serikat (AS) dan Brasil, yang harganya jauh lebih murah.

"Petani lokal tidak mungkin head to head dengan petani Brasil dan AS. Harganya (kedelai, Red) di sana cuman Rp5.000 ribu sekian. Kita kalau produksi di atas RP 6.000 baru ada untungnya," kata Syahrul saat rapat kerja (Raker) dengan Komisi IV di Komplek Parlemen, Jakarta, Senin (25/1).

Syahrul mengatakan, petani bagaimana pun dipaksa untuk menanam kedelai tanpa adanya jaminan Harga Pokok Penjualan (HPP) yang jelas tidak akan melirik tanaman subtropis tersebut.

"Kedelai untung 1- 2 juta per hektare itu sudah terlalu bagus. Jagung itu per hektare paling di bawahnya Rp 4-5 juta, padi untungnya di bawah 5-6 juta. Jadi dipaksa seperti apapun tidak bisa," tegas Syahrul.

Indonesia pernah mencapai swasembada kedelai di bawah pimpinan Presiden RI Soeharto. Saat itu, produksi yang dicapai mencapai 1,6-1,8 ton per tahun.

"Pernahkah kedelai swasembada di Indonesia? Pernah, waktu zaman Pak Harto, tapi HPP hadir dengan 6 kali lebih besar dari beras. Kita petani tak diapa-apa mau menanan itu," kata Syahrul.

Karena itu, Syahrul menjamin petani akan menanam kedelai asalkan pemerintah mampu menjamin harganya. "Yang makan tempe sekarang semakin banyak, bukan cuman Jawa. Kedelai bisa dilakukan (diwujudkan) sepanjang harganya bisa kita buatkan HPP," ujar Syahrul.

Selain membuat HPP yang ideal untuk komoditas tersebut, lanjut Politisi NasDem itu, pemerintah juga harus membatasi impor kedelai melalui kebijakan dari nonlartas menjadi lartas.

"Maafkan, saya sudah bicara ke Presiden, saya gunakan forum ini untuk kemungkinan saya bicara lagi kembali, kita butuh HPP dan perlu dilarang terbataskan (kedelai impor). Kalau tidak akan sulit head to head dengan kekuatan yang ada," kata Syahrul.

Selain dua hal itu, Syahrul juga menyampaikan, kedelai lokal juga kurang mampu bersaing lantaran bijinya terbilang sangat kecil dibandingkan kedelai transgenik (GMO), yang diimpor dari negara tetangga selama ini.

"Kedelai kecil kita lebih kecil karena kita dilarang… maaf saya tidak akan sebutkan, tapi yang kita makan dari sana," kata Syahrul.

Sementara itu, Ketua Komisi IV DPR RI, Sudin mengungkapkan, komoditas kedelai, jagung dan kedelai yang selama ini diimpor dari AS dan Brasil adalah hasil transgenetik.

"Kalau tadi dikatakan kita tidak boleh mengadakan GMO, kan yang diimpor GMO semua. Itu kan di Anda menterinya (Syahrul) untuk merubahnya. Kalau GMO ya GMO semua nggak apa-apa, tapi dengan ketentuan tugas Karantina penuh pengawasan," ujarnya.

"Jadi, kita nggak boleh munafik sementara kita tidak boleh memproduksi GMO. Kalau kita mau konsisten yang mengandung GMO tidak boleh masuk di Indoensi. Itu yang paling penting sebetulnya kalua tidak kita sama-sama main," sambungnya.

KEYWORD :

Komisi IV Masalah Kedelai Impor Kedelai Syahrul Yasin Limpo




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :