Kamis, 25/04/2024 21:42 WIB

Jelang HUT ke-48, PDIP Bahas Politik Identitas dan Mahalnya Ongkos Demokrasi

Partai Merupakan Alat untuk Sejahterakan Kaum Marhaen

Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto

Jakarta, Jurnas.com - Jelang perayaan HUT ke - 48 pada 10 Januari 2021, PDI Perjuangan (PDIP) mengajak seluruh rakyat Indonesia merefleksikan kembali bagaimana sistem politik Indonesia di tengah menguatnya politik identitas serta politik berbiaya tinggi.

Indonesia membutuhkan partai politik yang berideologi demi memastikan demokrasi menyejahterakan rakyat, di tengah hantaman oligarki serta penetrasi neoliberalisme.

Hal itu terungkap dalam Webinar Nasional yang dilaksanakan Balitpus PDIP bertema `Evaluasi Demokrasi Indonesia Pasca Reformasi: Menguatnya Politik Identitas dan Politik Biaya Tinggi Yang Menurunkan Kualitas Demokrasi`, Selasa (29/12/2020) malam.

Sekretaris Jenderal DPP PDIP, Hasto Kristiyanto menyampaikan terimakasih atas kepercayaan rakyat. Survei terakhir Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menemukan jika pemilu dilaksanakan saat ini, maka PDIP akan jadi pemenang dengan suara yang terus meningkat ke angka 31 persen.

Akan tetapi, kata Hasto, ada yang masih membuat gundah, yakni biaya politik tinggi sebagai problem akut demokrasi. Kasus pilkada di Samosir, Sumatera Utara membuktikan. Dimana politik uang secara masif mampu mengalahkan bupati incumbent yang mendapatkan penghargaan program pemberantasan korupsi terbaik di Sumut, serta hasil audit BPK dengan kualifikasi Wajar Tanpa Pengecualian.

"Politik berbiaya tinggi ini dampak dari liberalisasi politik pasca krisis ekonomi 1997/1998," jelas Hasto.

Ia memaparkan, terjadi global reproduction of American Politic lewat Letter of Intent IMF. Struktur dan sistem politik Indonesia dirubah secara fundamental mengikuti mekanisme elektoral atas campur tangan kapital.

"Demokrasi liberal justru menggeser demokrasi berdasar Pancasila seperti diamanatkan oleh para pendiri bangsa," jelas Hasto.

Dampak negatifnya, terjadi kapitalisasi kekuasaan politik, penguatan primordialisme, hingga konflik Pancasila melawan ideologi trans nasional.

Lebih jauh Hasto menyebut adanya fenomena politik kebencian yang masuk ke dalam kampus-kampus. Ia mengutip survei Setara Institute yang menemukan ada 10 kampus negeri yang terpapar paham radikalisme agama.

"Di berbagai daerah, muncul kelompok-kelompok kecil yang berusaha memaksakan penyeragaman budaya," ungkapnya.

Berdasarkan kondisi-kondisi itulah, pada Kongres PDIP awal 2020 lalu direkomendasikan kembalinya sistem proporsional tertutup, peningkatan ambang batas parlemen, perubahan district magnitude, moderasi sistem sehingga mewujudkan presidensialisme dan pemerintahan efektif, dan berbagai solusi lainnya.

PDIP, jelas Hasto, mendorong kesadaran ideologi, organisasi, politik, linngkungan, dan kesadaran untuk menyelesaikan persoalan rakyat secara gotong royong. Pendidikan kader dilaksanakan untuk mempersiapkan kader berkarakter, memiliki budi pekerti luhur, dan telah menjalankan revolusi mental.

"Bung Karno menegaskan cita-cita kebangsaan bagaimana Indonesia harus dibangun sebagai satu kesatuan jiwa kebangsaan. All for one, and One for All. Setiap warga negara adalah sama yang akarnya prinsip kebangsaan," kata Hasto.

"Semangat itulah yang harus kita gelorakan. Maka bicara soal evaluasi sistem politik dan demokrasi tidak boleh kehilangan roh, sistem politik yang kita bangun. Semua harus didasarkan oleh Pancasila. Rakyat harus menjadi prinsip utama dalam seluruh implementasi dalam sistem politik berdasarkan Pancasila dan UUD 1945," pungkas Hasto.

KEYWORD :

HUT ke-48 PDI Perjuangan Politik Identitas Hasto Kristiyanto




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :