Jum'at, 19/04/2024 18:26 WIB

Diduga Bansos Dipotong Lebih Dari Rp10 Ribu, KPK Dalami Penyidikan

Nawawi mengatakan, bahwa dalam proses penyidikan kasus, tidak bisa mengira-ngira. Sebab, segala bentuk penyidikan kasus ini harus berdasarkan alat bukti yang telah diperoleh

Wakil Ketua KPK, Nawawi Pomolango

Jakarta, Jurnas.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih melakukan pendalamaan terkait informasi adanya dugaan pemotongan lebih dari Rp10 ribu per paket sembako pada anggaran bantuan sosial (Bansos) covid-19 untuk wilayah Jabodetabek 2020.

"Segala sesatu menyangkut perkara itu kami terus lakukan pendalaman dalam proses penyidikan. Kita hanya bisa menyebutkan segala sesuatunya menyangkut perkara itu masih terus pendalaman," kata Wakil Ketua KPK, Nawawi Pomolango saat dimintai keterangan di Gedung Merah Putih KPK, Rabu (16/12).

Nawawi mengatakan, bahwa dalam proses penyidikan kasus, tidak bisa mengira-ngira. Sebab, segala bentuk penyidikan kasus ini harus berdasarkan alat bukti yang telah diperoleh.

"Segala susuatu kami dapatkan dari bukti yg kita peroleh. Sekali lagi, kami teman-temam penyidik akan lakukan pendalaman terhadap segala sesuatu. Nggak ada yg bisa kita kira-kirain seperti apa. Yang jelas kami berangkat dari alat bukti yang kita dapatkan," ucap Nawawi.

Sebelumnya, KPK mendapatkan informasi adanya pemotongan lebih pada anggaran bantuan sosial (Bansos) covid-19 pada paket sembako untuk wilayah Jabodetabek 2020.

Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata mengatakan, pemotongan anggaran bansos covid-19 yang menjerat Menteri Sosial, Juliari P Batubara itu diduga dari Rp300 ribu menjadi Rp200 ribu per paket yang sampai ke masyarakat.

"Kalau informasi diluar sih, wah itu dari Rp300 ribu, paling juga sampai ke tangan masyarakat paling Rp200 ribu," kata Alexander Marwata atau yang sering disapa Alex kepada Wartawan, Senin (14/12).

Alex juga mengatakan bahwa tim penyidik masih mendalami vendor atau perusahaan-perusahaan yang menyalurkan sembako itu dari pemerintah kepada masyarakat.

Dimana, KPK mempertanyakan kelayakan perusahaan-perusahaan yang dipilih oleh Kementerian Sosial (Kemensos) untuk menjadi vendor dalam pengadaan sembako itum

"Tapi kan itu kan kita lihat juga, siapa saja sih yg menjadi vendor2 yg menyalurkan sembako. Apakah mereka itu layak. Artinya itu, memang usahanya itu. Dia punya usaha pengadaan sembako, atau tiba2 perusahaan yg baru didirikan kemudian dapat pekerjaan itu," ucap Alex.

"Tapi kemudian dia men-subkan ke pihak lain dan kemudian dia hanya mendapatkan fee, tadi itu berapa yakan. Nah itu kan harus kita dalami," lanjutnya

Hingga saat ini, KPK mencatat ada 272 kontrak terkait kasus mengadaan bansos covid-19 yang sedang didalami KPK. Dimana, KPK masih menyelidiki, bagaimana proses pemilihan vendor menjadi menyalur bansos tersebut dan berapa nilai sembako yang sampai ke masyarakat.

"Jadi prinsipnya kan ada 272 kontrak kalau gak salah. Ya semua harus didalami itu, siapa yg mendapatkan perkerjaan itu, dari mana, atau bagaimana dia mendapatkan pekerjaan itu, dan apakah dia melaksanakan oenyaluran sembako itu, atau hanya modal "bendera" doang. Nah itu semua harus didalami. Kita pengen lihat, sebetulnya berapa sih anggaran sembako itu yang sampai ke masyarakat, gitu kan," katanya

Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan lima orang sebagai tersangka dalam kasus korupsi berupa penerimaan sesuatu oleh penyelenggara negara atau yang mewakilinya di Kementerian Sosial RI terkait bantuan sosial untuk wilayah Jabodetabek 2020.,

Lima orang tersangka itu ialah, Menteri Sosial Juliari P Batubara (JPB); Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Kemensos Matheus Joko Santoso (MJS) dan Adi Wahyono (AW) serta dari pihak swasta Ardian I M (AIM) dan Harry Sidabuke (HS).

Dimana, KPK menduga Mensos Juliari telah menerima suap dari dua periode dari paket sembako paket bantuan sosial (bansos) penanganan Covid-19 sebesar Rp17 miliar.

"Khusus untuk JPB (Juliari) pemberian uangnya melalui MJS (Matheus Joko Santoso selaku PPK di Kemensos) dan SN (Shelvy N, Sekretaris di Kemensos) selaku orang kepercayaan JPB)," kata Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Minggu (6/12) lalu.

Diduga uang suap itu berasal dari pihak swasta, Ardian I M (AIM) dan Harry Sidabuke (HS). Dugaan suap itu diawali adanya pengadaan Bansos penanganan Covid-19 berupa paket sembako di Kementerian Sosial RI tahun 2020 dengan nilai sekitar Rp5,9 triliun dengan total 272 kontrak dan dilaksanakan dengan 2 periode.

"JPB selaku Menteri Sosial menunjuk MJS dan AW (Adi Wahyono) sebagai PPK dalam pelaksanaan proyek tersebut dengan cara penunjukkan langsung para rekanan," ungkap Firli.

Diduga disepakati ditetapkan adanya fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang harus disetorkan para rekanan kepada Kementerian Sosial melalui Matheus Joko Santoso. Untuk fee tiap paket Bansos di sepakati oleh Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono sebesar Rp10 ribu per paket sembako dari nilai Rp300 ribu perpaket Bansos.

"Selanjutnya oleh MJS dan AW pada bulan Mei sampai dengan November 2020 dibuatlah kontrak pekerjaan dengan beberapa suplier sebagai rekanan yang diantaranya AIM, HS dan juga PT RPI (Rajawali Parama Indonesia) yang diduga milik MJS. Penunjukkan PT RPI sebagai salah satu rekanan tersebut diduga diketahui JPB dan disetujui oleh AW selaku PPK," terang Firli.

Pada pelaksanaan paket Bansos sembako periode pertama, diduga diterima fee Rp12 miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh Matheus Joko Santoso kepada Mensos Juliari P Batubara melalui Adi Wahyono dengan nilai sekitar Rp8,2 miliar. Pemberian uang tersebut, selanjutnya dikelola oleh Eko dan Shelvy N selaku orang kepercayaan Juliari P Batubara.

"Untuk digunakan membayar berbagai keperluan pribadi JPB," kata Firli.

Sementara pada periode kedua pelaksanaan paket Bansos sembako, terkumpul uang fee dari bulan Oktober 2020 sampai dengan Desember 2020 sejumlah sekitar Rp8,8 miliar yang juga diduga akan dipergunakan untuk keperluan JPB.

KEYWORD :

KPK Menteri Sosial Juliari Batubara Tersangka Korupsi Dana Bansos Covid




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :