Sabtu, 20/04/2024 04:11 WIB

Potensi Ekonomi Digital Indonesia Terganjal Kesenjangan Digital

Indonesia berada di peringkat enam dari delapan negara ASEAN dilihat dari Network Readiness Index 2019, diungguli oleh Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, bahkan Filipina.

Pendiri P.O Sayur Organik Merbabu (SOM), Shofyan Adi Cahyono. (Foto: Ist)

Jakarta, Jurnas.com - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Siti Alifah Dina mengatakan, pemerintah harus serius membenahi permasalahan yang menghambat perkembangan ekonomi digital. Pasalnya, para pelaku usaha digital masih dihadapkan pada kesenjangan digital dan hambatan berusaha.

Menurut Dina, walaupun pengguna internet di Indonesia sudah mencapai 73% pada November 2020 menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJIII), kesenjangan terhadap akses internet masih cukup signifikan.

Indonesia berada di peringkat enam dari delapan negara ASEAN dilihat dari Network Readiness Index 2019, diungguli oleh Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, bahkan Filipina.

Indeks ini mengukur bagaimana teknologi dan masyarakat terintegrasi dalam struktur tata kelola yang efektif, dilihat dari beberapa faktor, seperti teknologi, masyarakat, pemerintahan, dan dampaknya terhadap kondisi ekonomi, kualitas hidup dan kontribusi terhadap Tujuan Pembangunan Berkualitas (SDGs) suatu negara.

"Mengatasi kesenjangan digital akan berkontribusi salah satunya pada perluasan akses pasar bagi pengusaha mikro di 30% kabupaten/kota yang berada pada wilayah blankspot  menurut data dari Himbara (Himpunan Bank Negara) per Februari 2020," terang Dina.

"Tidak hanya itu, kualitas sumber daya manusia Indonesia di masa yang akan datang juga dapat ditingkatkan. Pandemi telah membuat kegiatan belajar harus dilaksanakan secara daring," sambungnya.

Karena itu, Dina mengajukan kepada Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk mempertimbangkan opsi realokasi porsi fiskal tertentu yang permintaannya berkurang selama pandemi, untuk subsidi pemenuhan akses internet melalui kerja sama dengan sektor privat.

"Misalnya saja subsidi bahan bakar minyak karena selama pandemi banyak yang bekerja hanya di rumah. Tentunya kebijakan ini harus diiringi dengan perhitungan rinci analisis biaya dan manfaat," terang Dina.

Selanjutnya untuk mendukung kemudahan berusaha, Kementerian Perdagangan (Kemendag) dapat mempertimbangkan mengevaluasi dan menunda penerapan izin berjualan daring, sesuai amanat Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50/2020.

Berkaca dari laporan IFC terhadap kendala perizinan untuk perdagangan konvensional, sebanyak 33% pelaku usaha mikro dan kecil menganggap proses perizinan terlalu rumit. Sedangkan, 27% pelaku usaha mikro dan kecil menyebutkan tidak melihat adanya manfaat dari perizinan. 

Studi dari Universitas Indonesia juga menjelaskan bahwa pandemi merupakan alasan utama pelaku usaha untuk masuk ke dunia digital menurut 71% penjual GoFood dan 93% social seller yang menggunakan GoSend.

Di saat yang bersamaan, prospek konsumen digital juga turut meningkat dilihat dari peningkatan penggunaan aplikasi belanja online atau dalam jaringan (daring) sebesar 42% menurut infografis BPS.

"Tercapainya potensi ekonomi digital Indonesia pada 2025 secara merata bergantung pada kinerja para pemangku kepentingan dalam mengeliminasi beberapa hambatan, diantaranya tingginya kesenjangan digital serta adanya hambatan berusaha secara digital," tandasnya.

Pada acara Indonesia Fintech Summit, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyampaikan bahwa pada tahun 2025, potensi ekonomi digital diproyeksikan sebesar USD 133 miliar atau Rp 1.862 triliun berdasarkan kurs pada November 2020.

Proyeksi ini dihitung berdasarkan pertumbuhan ekonomi digital sebesar 40% menurut Laporan Google, Temasek, & Bain di tahun 2019. Tentunya angka proyeksi ini akan berubah jika mempertimbangkan terjadinya pandemi di awal tahun ini. 

KEYWORD :

konomi Digital Indonesia Kesenjangan Digital Kementerian Perdagangan




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :