Kamis, 25/04/2024 20:49 WIB

Intelektual Iran: Prancis Tidak Belajar dari Masa Lalu yang Kelam

Toleransi negara terhadap penistaan terhadap Islam secara aneh bertepatan dengan hukuman ketat yang serupa atau jauh lebih tidak senonoh terhadap orang Yahudi dan Yudaisme.

Presiden Prancis, Emmanuel Macron ikut serta dalam upacara tradisional Lily of the valley di istana Elysee, Paris, pada 1 Mei 2020. (Fot: AFP)

Teheran, Jurnas.com - Sekelompok intelektual Iran membantah dengan tegas klaim Presiden Prancis, Emanuel Macron bahwa dukungan untuk penistaan sama dengan perlindungan kebebasan berbicara.

"Tampaknya saat ini Prancis belum mempelajari pelajaran dari sejarah kolonialnya sendiri dan sekali lagi mengikuti jalan yang pahit dan penuh kebencian di mana tragedi kemanusiaan baru dapat berkecambah," kata para inteltual tersebut seperti dilansir dari Press TV.

Pernyataan itu datang dalam sebuah surat yang dialamatkan para intelektual pada Rabu (4/11) kepada sesama pemikir, cendekiawan, ahli, dan otoritas agama serta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan cabang hukum dan hak asasi manusia.

Surat itu menyangkut penghinaan berturut-turut kepala negara Prancis selama beberapa bulan terakhir terhadap Islam dan kesucian Islam yang telah membuat marah anggota komunitas Muslim yang berjumlah sekitar dua miliar di seluruh dunia.

Pada September, Macron membela hak penistaan di Prancis setelah majalah satir Prancis, Charlie Hebdo menerbitkan ulang kartun-kartun Nabi Muhammad.

Kemudian, pada 2 Oktober, Macron mengklaim dalam pidatonya bahwa Islam dalam krisis global dan mengumumkan rencananya untuk mereformasi Islam agar lebih sejalan dengan nilai-nilai Prancis.

Belakangan, Macron mendukung seorang guru Prancis yang menampilkan kartun yang menghina Nabi Muhammad di kelasnya. "Prancis tidak akan pernah meninggalkan karikatur," kata Macron, membela guru tersebut karena mempromosikan kebebasan.

Surat tersebut menyebutkan, jika ada perilaku yang mengarah pada ketidaksopanan, diskriminasi, dan kebencian terhadap manusia, baik dengan dalih advokasi kebebasan atau demokrasi atau melalui metode penindasan dan diktator, maka tindakan tersebut bertentangan kebebasan manusia.

Surat itu kemudian mencentang daftar kekejaman Prancis, termasuk pembantaiannya selama pemerintahan kolonial berlarut-larut di seluruh dunia, terutama di Afrika.

"Pemerintah Prancis adalah orang terakhir yang berhak memberi kuliah kepada dunia tentang perlindungan hak asasi manusia, kebebasan berekspresi, dan demokrasi mengingat sejarahnya yang buruk," bunyi Surat itu.

"Hari ini, Paris juga mengikuti metode dan pendekatan yang sama seperti yang ditunjukkan oleh tindakan tidak senonoh Macron yang berulang-ulang terhadap Islam dan Nabinya," sambungnya.

Para intelektual Iran juga mengingatkan bahwa toleransi negara terhadap penistaan terhadap Islam secara aneh bertepatan dengan hukuman ketat yang serupa atau jauh lebih tidak senonoh terhadap orang Yahudi dan Yudaisme.

Padahal, undang-undang Prancis sendiri secara jelas melarang standar ganda di bidang kebebasan beragama, kata surat itu, yang mencela Paris karena memajukan pendekatan "Eurosentris dan egosentris".

Karena itu, para intelektual menyerukan para pemimpin agama dunia, terutama dari dunia Islam, Kristen, dan Yudaisme, untuk mengandalkan pertukaran pandangan untuk mencegah konfrontasi dan konflik antaragama, etika dan rasial yang menyebabkan penindasan dan ketidakadilan dan memperbesar lingkaran kebencian, dan, untuk tidak membiarkan rasis fundamentalis menginjak-injak hak asasi manusia. 

Mereka juga meminta PBB dan badannya untuk bereaksi terhadap tindakan yang mempromosikan kebencian dan pelanggaran hak asasi manusia. (Press TV)

KEYWORD :

Charlie Hebdo Emanuel Macron Intelektual Iran Karikatur Nabi Muhammad




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :