Selasa, 16/04/2024 19:39 WIB

Polarisasi di Media Sosial Jadi Ancaman Demokrasi

Demokrasi di seluruh dunia saat ini menghadapi tantangan dan perubahan besar

acara diskusi daring bertajuk : Beyond Misinformation: US Electoral Integrity in The Digital Age, yang diselenggarakan Pusat Kebudayaan Amerika Serikat di Jakarta didukung Pusat Kebudayaan Amerika di Filipina, Kolombo dan Kathmandu.

Jakarta, Jurnas.com - Demokrasi di seluruh dunia saat ini menghadapi tantangan dan perubahan besar. Pemilu yang bebas dan adil sebagai landasan legitimasi demokrasi, mengalami tekanan dari gerakan populisme dan pasca-kebenaran, yang menyalahgunakan teknologi komunikasi digital untuk menyesatkan masyarakat.

Hal itu disampaikan Devie Rahmawati, Peneliti Vokasi UI sekaligus penggiat literasi dgital dalam acara diskusi daring bertajuk : Beyond Misinformation: US Electoral Integrity in The Digital Age, yang diselenggarakan Pusat Kebudayaan Amerika Serikat di Jakarta didukung Pusat Kebudayaan Amerika di Filipina, Kolombo dan Kathmandu.

Acara tersebut menghadirkan pembicara Lindsey Forson, Direktur Cybersecurity Program dari National Association of Secretaries of State (NASS). Lindsey hadir, karena yang bersangkutan memiliki fokus area tentang cara negara berupaya melawan serangan siber pada sistem pemilihan negara bagian serta memerangi kampanye disinformasi tentang integritas pemilihan lokal di AS.

Lindsey bertugas mengelola hubungan asosiasi yang terkait dengan keamanan siber dan keamanan pemilu, memfasilitasi pembagian informasi keamanan siber di antara anggota NASS dan staf mereka, serta staf Komite Keamanan Siber NASS.

Menurut Devie, beberapa studi menunjukkan bahwa media sosial mempolarisasi debat publik, mendorong orang ke arah politik yang ekstrem. Sedangkan studi lain berpendapat bahwa media sosial menciptakan `gelembung filter` dan `ruang gema`, mengurangi akses ke berbagai sumber informasi dan perspektif.

"Disinformasi adalah salah satu strategi para populis yang mencoba meruntuhkan kepercayaan masyarakat pada fakta yang dapat diverifikasi dan membangun sinisme (termasuk dengan menjelekkan jurnalis profesional sebagai penyebar `berita palsu`) sehingga kontestasi kebijakan serta pemilu tidak didasarkan pada akal sehat, melainkan pada pesona pribadi dan loyalitas sektarian,” ujarnya.

Dalam kegiatan Webinar dengan tajuk “Peran Influencer Terhadap Kepercayaan Masyarakat Menanggapi Isu-Isu Covid-19” yang diselenggarakan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Fact Checker UI, Direktorat Kemahasiswaan UI dan Mafindo, terungkap “media sosial seperti Facebook atau Whatsapp, Instagram, atau twitter, dianggap banyak orang sebagai media yang memiliki jurnalis, memiliki pemimpin redaksi.

"Ini yang unik tidak heran informasi yang berseliweran dipercaya betul oleh masyarakat, baik soal Covid, Politik, dan lainnya,” ujar Devie Rahmawati.

Sedangkan Wahyu Dhyatmika selaku Pemred Majalah Tempo berpendapat bahwa peran influencer, baik influencer individu maupun pihak media massa, dapat dimaksimalkan dalam mengatasi pandemi informasi dengan menekankan pada cek-cek fakta secara kolaboratif.

“Jadi sering sekali media itu sendiri terlibat juga dalam penyebaran misinformasi. Ini poin penting yang ingin saya sampaikan, karena banyak sekali sebetulnya kondisi kebingungan yang terjadi akibat infodemik akibat pandemi informasi, bisa kita atasi jika media sendiri sudah mulai membersikan diri dari konten yang termasuk dalam false connection, misleading content, dan false context,” terang Wahyu.

Menarik dilihat, lanjut Wahyu, data dari Reuters Institute dan University of Oxford menerangkan bahwa penyebaran berita hoax terbesar dilakukan oleh orang-orang prominent persons/ influencer.

“Dari sisi jumlahnya memang mereka hanya 20% dari total yang menyebarkan disinformasi, tapi share of engagements-nya, karena mereka influencer, itu 69%. Jadi meskipun orangnya sedikit, tapi punya follower banyak tapi karena mereka berpengaruh, jumlah engagement, retweet, like, share, jauh lebih besar,” terang Wahyu.

Desiree Maghdalena Roring, Putri Indonesia Intelegensia 2020 menganggap bahwa kekuatan influencer ialah sosial media yang dimiliki. Melalui sosial media tersebut, kata Desiree, para influencer dapat mempengaruhi banyak orang.

“Sebagai influencer, sumber informasi yang tepat itu penting banget. Kita bertanggujawab tentang apa yang kita bagikan. Jangan sampai kita tanpa sengaja share hoax, itu sangat berbahaya,” papar Desiree.

Pengaruh informasi yang ditransmisikamn melalui teknologi komunikasi digital saat ini memiliki pengaruh besar pada pembangunan ekosistem demokrasi berbangsa serta ketahanan kesehatan masyarakat yang kuat.

KEYWORD :

Media Sosial Ancaman Demokrasi




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :