Jum'at, 19/04/2024 05:36 WIB

Rawan Korupsi, KPK Monitor Pilkada Serentak Di NTB

Ketua KPK, Firli Bahuri mengaku prihatin dan akan memantau penuh gelaran pilkada serentak itu, termasuk NTB. Dimana, Nusa Tenggara Barat (NTB) sendiri, terdapat 12 kasus tindak pidana korupsi  yang melibatkan kepala daerah

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI, Firli Bahuri.

Jakarta, Jurnas.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan monitoring dalam pilkada serentak. Salah satunya di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), merupakan salah satu dari 26 provinsi yang pernah terjadi tindak pidana korupsi dalam kurun waktu 2004-2020.

Ketua KPK, Firli Bahuri mengaku prihatin dan akan memantau penuh gelaran pilkada serentak itu, termasuk NTB. Dimana, NTB sendiri terdapat 12 kasus tindak pidana korupsi  yang melibatkan kepala daerah.

“Ini memprihatinkan bagi kita,” kata Firli Bahuri kepada Wartawan, Minggu (26/10).

Firli juga merunutkan provinsi lain yang pernah terjadi tindak pidana korupsi. Diantaranya, Provinsi Jawa Barat yakni 101 kasus, Jawa Timur 93 kasus, kemudian 73 kasus di Sumatera Utara.

Kemudian di Riau dan Kepulauan Riau sebanyak 64, DKI Jakarta 61, Jawa Tengah 49, Lampung 30, Sumatera Selatan 24, Banten 24, Papua 22 kasus, Kalimantan Timur 22, Bengkulu 22, Aceh 14, Nusa Tenggara Barat 12, Jambi 12 dan Sulawesi Utara.

Selanjutnya yakni Kalimantan Barat 10 kasus, Sulawesi Tenggara 10, Maluku 6, Sulawesi Tengah 5, Sulawesi Selatan 5, Nusa Tenggara Timur 5, Kalimantan Tengah 5, Bali 5, dan Sumatera Barat sebanyak 3 kasus.

"Dari sebaran 34 provinsi, 26 daerah itu pernah terlibat korupsi,” kata Firli.

Dalam kesempatan itu, Firli mengharapkan, 8 dari 34 provinsi yang belum ditemukan tindak pidana korupsi oleh KPK untuk terus berbenah diri dan mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Begitu juga daerah-daerah yang pernah diusut KPK.

Selain itu, Firli mengatakan bahwa sejak 2004 hingga 2020, kasus kepala daerah tersebut paling banyak adalah kasus suap, sebanyak 704 kasus.

"Jadi kasus korupsi yang terjadi 2004 sampai 2020 itu paling banyak karena kasus suap, itu 704 kasus. Di proyek 224 perkara, penyalahgunaan anggaran 48 kasus dan TPPU sebanyak 36. Ini kasus-kasus yang melibatkan kepala daerah," kata Firli.

Adapun Firli mengingatkan potensi tindak pidana korupsi dalam penyelenggaraan Pilkada. Dimana, berdasar hasil Survei Benturan Kepentingan dalam Pendanaan Pilkada oleh Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK pada tahun 2015, 2017, dan 2018, ditemukan bahwa potensi adanya benturan kepentingan berkaitan erat dengan profil penyumbang atau donatur.

Menurut Firli, sumbangan donatur atau dari
Hasil survei KPK menemukan bahwa sebesar 82,3 persen dari seluruh calon kepala daerah dan wakil kepala daerah menyatakan adanya donatur dalam pendanaan pilkada.

Sesuai catatan survei KPK, total harta rata-rata pasangan calon adalah Rp18,03 Miliar. Bahkan, ditemukan pula ada satu pasangan calon yang hartanya minus Rp15,17 juta.

Padahal, berdasar wawancara mendalam dari survei KPK itu, diperoleh informasi bahwa untuk bisa mengikuti tahapan Pilkada, pasangan calon di tingkat Kabupaten/Kota harus memegang uang antara Rp5-10 Miliar, yang bila ingin menang idealnya musti mempunyai uang Rp65 Miliar.

Di kesempatan terpisah, Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi menilai KPK memang perlu mengawasi. Apalagi di Pilkada Sumbawa ada adik dari gubernur NTB.

"Tentu bisa berpontesi adanya dinasti politik. Potensi penggunaan anggaran dan fasilitas gubernur untuk calon pilkada juga harus mendapat perhatian. KPK juga perlu memasang mata mengawasi di sana," kata Uchok Sky

Uchok sky juga berharap, jangan sampai ada kecurangan atau permainan gubernur yang dapat menguntung salah satu paslon.

"Itu sangat dilarang jika sampai terjadi," tuturnya.

KEYWORD :

KPK Korupsi Pilkada




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :