Kamis, 25/04/2024 11:44 WIB

Ancaman Kegagalan Mitigasi Elektoral Pilkada Serentak 2020

Pengerahan dukungan massa dengan jumlah besar yang melanggar protokol kesehatan terjadi di sejumlah daerah. Hal ini tentu merupakan ancaman kegagalan mitigasi pilkada serentak 2020

Wakil Ketua Komite 1 DPD RI, Abdul Kholik

Jakarta, Jurnas.com - Penyelenggaraan Pilkada serentak tahun 2020, yang akan dilaksanakan pada tanggal 9 Desember sudah memasuki tahapan-tahapan krusial. Salah satunya yakni Pendaftaran calon Kepala Daerah sebagai pintu masuk kontestasi sudah dilaksanakan dengan sejumlah pelanggaran yang dikhawatirkan sejak awal pasti akan terjadi. 

Hal tersebut dapat dilihat dari Pengerahan dukungan massa yang jumlahnya melanggar protokol kesehatan terjadi di sejumlah daerah.

"Padahal peraturan KPU melarang pengerahan masa, namun sejak awal sudah diprediksi akan sulit dikendalikan," kata Wakil Ketua Komite I DPD RI, Dr. Abdul Kholik kepada Jurnas.com, di Jakarta, Rabu (16/09/2020).

Senator Asal Jawa Tengah ini menegaskan, Pilkada dan pandemi merupakan dua hal yang saling bertentangan secara diametaral. Satu pihak melarang kerumunan dan mengharuskan jaga jarak. 

"Sementara Pilkada intinya adalah mobilisasi massa dan penggalangan dukungan untuk meraih popularitas dan elektabilitas pasangan calon," katanya.

Sebelumnya, berbagai pihak semakin keras menyuarakan Pilkada berpotensi menjadi cluster baru penyebaran Covid. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengeluarkan pernyataan resmi terhadap potensi Pilkada sebagai kluster penyebaran wabah.

"Kekhawaturan IDI, menambah daftar panjang sejumlah Lembaga yang menolak Pilkada 2020," ujar dia.

DPD RI melalui Komite I sejak awal, lanjut Abdul Kholik, telah menolak penyelenggaraan Pilkada Tahun 2020.

Demikian pula Perludem, Peneliti LIPI, dan sejumlah kalangan ahli dari berbagai perguruarun Tinggi. Terakhir Komnas HAM RI secara resmi sudah merekomendasikan untuk menunda kembali Pilkada 2020.

Masih kata abdul Kholik, Ketika KPU memutuskan untuk kembali mengaktifkan tahapan Pilkada, tepatnya pada pertengahan Juni lalu, jumlah kasus positif Covid masih pada kisaran 39.294. Saat itu baik KPU, Pemerintah dan DPR masih optimis penanganan Covid akan semakin membaik. Mendagri misalnya yakin Pilkada akan dapat dilaksanakan dengan sukses dan tahapan akan berjalan dengan baik.

"Begitupun KPU, yakin dapat mengatur dan melaksanakan secara ketat sesuai protokol kesehatan. (Namun) Fakta yang terjadi sebaliknya. Jumlah kasus positif kini berlipat ganda mencapai 221.253. Hasil test kesehatan terdapat 65 pasangan calon yang positif Covid-19, sehingga harus masuk isolasi maupun perawatan," katanya.

Legitimasi Pilkada juga semakin terancam dengan potensi rendahnya partisipasi Pemilih. Survey yang dilakukan Charta Politika mencatat hanya 34% persen warga yang menyatakan akan hadir ke TPS jika Pilkada digelar pada tahun 2020. 

"Sulit dibayangkan apabila kondisi pandemik terus meningkat eskalasinya dipastikan warga semakin enggan dan takut datang ke TPS. Bisa jadi partisipasi pemilih akan sangat rendah dan itu artinya legitimasi calon terpilih akan sangat rendah," katanya.

Selain itu, lanjut Alumni FH Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto ini, Pilkada 2020, juga dipastikan akan semakin diwarnai sejumlah daerah yang minim kontestasi. Data terakhir menunjukkan setidaknya 28 daerah akan diikuti satu pasangan calon (calon tunggal). 

"Artinya bertambah 10 daerah dibanding Pilkada tahun 2018. Sekalipun KPU membuka pendaftaran kembali, sulit diharapkan munculnya pasangan calon di daerah tersebut. Fakta calon tunggal ini membuktikan upaya untuk memperbaiki kualitas kontestasi yang semula dicanangkan gagal," katanya.

"Tampaknya, justru menjadi strategi baru untuk memenangkan Pilkada tanpa kontestasi semakin mengemuka. Lantas, apa artinya Pilkada tanpa kontestasi? Pastilah itu bukan pesta demokrasi penuh kegembiraan dan menjadi ajang Pendidikan politik yang mencerdaskan, melain tanda-tanda kemunduran demokrasi," tambah dia.

Perpu Jilid II

Melihat sejumlah fakta yang terjadi sampai tahapan pencalonan, dan ke depan akan memasuki fase kunci tahapan kampanye dan pencoblosan (pemilihan), dapat ditegaskan bahwa semua asumsi optimistik yang dibangun ketika KPU melanjutkan tahapan Pilkada semakin jauh dari akurat. 

"Kegagalan Mitigasi bahaya Pilkada era pandemik semakin nyata adanya. Demi mencegah bahaya yang lebih besar dan mengurangi potensi bencana kluster penyebaran Covid yang sulit dikendalikan dan potensi jatuhnya korban jiwa secara masal, harus segera diambil sikap demi keselamatan masyarakat," ungkap Abdul Kholik.

Menurut Abdul Kholik, setidaknya terdapat lima opsi yang diambil sebagai solusi bagi penyelenggaraan Pilkada.

Pertama, mitigasi bahaya elektoral PIlkada era pandemi oleh Tim Independen yang kapabel dan kredibel untuk menentukan lanjut atau tidaknya Pilkada.

"Langkah ini diperlukan untuk secara obyektif menilai sejauh mana resiko jika Pilkada dilanjutkan atau perlu segera ditunda kembali. Tim ini beranggotakan multi stakeholder yang menggabungkan antara kepentingan penanganan Covid dan penyelenggaraan Pilkada," ucap Abdul Kholik.

Kedua, Sebagai institusi yang memiliki kewenangan untuk mengawasi tahapan Pilkada, dengan melihat berbagai indikasi pelanggaran massif yang terjadi saat pencalonan bisa saja Bawaslu merekomendasikan semacam menarik “rem darurat” atas nama fakta pelanggaran dan potensi pelangharan yang lebih massif, dan anacaman keselamatan penyelenggara dan pemilih.

"Ketiga, membuka ruang untuk penerapan model Pilkada Asimteris hanya pada tahap pemungutan suara ketika pandemi terus meningkat dengan cara perwakilan bertingkat. Setiap satu RT diwakili 5-10 pemilih yang dihitung berdasarkan proporsi dan besaran jumlah KK, Model mengadopsi pemilihan anggota Badan Perwakilan Desa (BPD), sehingga satu desa cukup satu TPS," kata dia.

Hal ini juga sangat efesien dan masih ada ruang untuk penerapan protokol secara ketat, untuk menjaga keterbukaan dan prinsip jurdil pemilih yang akan mewakili RT bisa diundi secara acak. 

"Pilihan terakhir jika model delegasi juga tidak memungkinkan dibuka ruang dipilih oleh DPRD dengan tetap KPU sebagai penyelenggara dengan pengawasan super ketat," katanya.

Keempat, KPU sebagai penyelenggara mengambil inisiatif untuk menunda tahapan setelah menyelesaikan tahapan pencalonan, dengan melakukan mitigasi elektoral yang berbasis saat ini dan meminta pendapat ahli pandemi atau setidaknya merujuk pada perkiraan ketersediaan vaksin Covid-19 yang diperkirakan akan mulai tersedia pada awal 2021, sehingga dapat menjadi alasan untuk menerapkan ketentuan Pasal 201A Perpu Pilkada jo. UU Nomor 6 Tahun 2020, Pasal 201A ayat (3) yang membuka ruang penundaan kembali pemungutan suara dapat diberlakukan.

"Kelima, Presiden mengambil inisitiaf untuk menerbitkan Perpu Pilkada Jilid II dengan landasan demi kepentingan umum yaitu keselamatan rakyat yang utama. Sekaligus dalam Perpu ini memberikan solusi apabila setelah penundaaan pada tahun 2021 masih kesulitan untuk menyelenggarakan Pilkada maka opsi Pilkada Asimetris di era pandemi dapat dimasukan sebagai salah satu jalan keluar, berbagai solusi itu sangat dimungkinkan," terang Abdul Kholik.

Ditegaskan Abdul Kholik, menjaga keselamatan umum dan mengakomodasi berbagai langkah yang dapat memastikan Pilkada dapat berjalan demokratis dan berkualitas semestinya dapat segera dilakukan. Terlebih apabila pilihan Perpu jilid II yang diambil maka tuduhan sebagian pihak bahwa Presiden berkepentingan dengan Pilkada tetap dilaksanakan karena alasan kekerabatan, dapat dengan sendirinya terbantahkan.

KEYWORD :

Abdul Kholik Pilkada Covid




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :