Jum'at, 19/04/2024 04:57 WIB

Setahun, Angka Buta Aksara Indonesia Turun 0,15 Persen

Angka buta aksara Indonesia mengalami penurunan dari 1,9 persen pada 2018 menjadi 1,78 persen pada 2019.

Direktur Jenderal PAUD Dasmen Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jumeri (Foto: Muti/Jurnas)

Jakarta, Jurnas.com - Angka buta aksara Indonesia mengalami penurunan dari 1,9 persen pada 2018 menjadi 1,78 persen pada 2019.

Demikian disampaikan oleh Direktur Jenderal PAUD Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Jumeri, dalam kegiatan Bincang Pendidikan Hari Aksara Internasional (HAI) 2020 pada Jumat (4/9) yang digelar secara daring.

Meski mengalami penurunan, lanjut Jumeri, daftar urutan provinsi dengan penduduk buta aksara masih belum berubah.

Papua (21,9 persen), Nusa Tenggara Barat (7,46 persen), Nusa Tenggara Timur (4,24 persen), Sulawesi Barat (4,22 persen), Sulawesi Selatan (3,98 persen), dan Kalimantan Barat (3,81 persen) masih menjadi yang tertinggi angka buta aksaranya.

"Data buta aksara di enam wilayah tersebut linier dengan data lain, di antaranya APK (angka partisipasi kasar). Seperti di Papua, APK-nya rendah, juga pendapatan per kapita dan akses pada informasi," kata Jumeri kepada awak media.

Apabila dipecah per kategori, buta aksara pada perempuan lebih tinggi dari laki-laki yakni 5,67 persen berbanding 2,52 persen. Angka buta aksara di perdesaan juga lebih tinggi dari perkotaan yakni 6,44 persen berbanding 2,29 persen.

"Secara rata-rata, jumlah buta aksara perempuan lebih tinggi dari pada laki-laki. Ini berarti kesetaraan gender kita masih harus diperjuangkan bahwa di kalangan perempuan kita masih banyak diperjuangkan untuk dapat kesempatan menjadi warga melek huruf," terang dia.

Sementara itu berdasarkan kelompok umur, usia lansia atau 60 tahun ke atas memiliki persentase buta aksara tertinggi dibandingkan kelompok umum lainnya, yaitu 20,85 persen.

Sedangkan menurut pembagian disabilitas dan non-disabilitas, angka buta aksara penyandang disabilitas lebih tinggi dari non-disabilitas 21,37 persen berbanding 3,52 persen.

"Kalau dari sisi pembagian sharing belanja rumah tangga. Makin tinggi pendapatan atau pengeluaran, ternyata tingkat melek hurufnya makin tinggi. Dan ini linier dengan pendapatan. Orang yang berpendapatan lebih tinggi, bisa mendapat kesempatan tidak buta aksara. Benar berarti buta aksara identik dengan kemiskinan," sambung dia.

Berdasarkan data tersebut, Jumeri mengatakan Kemdikbud sedang menyusun langkah strategis untuk pengentasan buta aksara dengan harapan tidak ada lagi daerah buta aksara pada 2023 mendatang.

Salah satu langkah strategi tersebut ialah memberikan perhatian khusus pada enam wilayah dengan angka buta aksara tertinggi.

"Setelah warga kita tidak buta aksara, maka perlu dijaga agar bisa meningkatkan literasinya. Kalau hanya dididik keaksaraan kemudian dilepaskan, tidak ada bimbingan, maka dia akan kembali ke buta aksara," kata dia.

Sementara itu, Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus, Samto mengakui dalam lima tahun terakhir penurunan buta aksara masih relatif rendah.

Karena itu, pihaknya kini akan fokus memberikan bantuan keaksaraan kepada enam wilayah tersebut, serta mendorong agar masyarakat yang sudah lulus dari keaksaraan dasar untuk berlanjut ke keaksaraan lanjutan.

"(Penurunan rendah) bukan karena tidak kita upayakan. Ini tinggal kerak-keraknya. Setelah melek aksara, kemudian diberikan treatmen dengan keaksaraan lanjutan," terang Samto.

Samto mengatakan pemerintah juga tidak bisa hanya fokus pada buta aksara, sebab di sisi lain terdapat banjir informasi yang memerlukan kemampuan literasi.

"Kami ada beberapa skema untuk gerakan literasi. Pertama geraka literasi di sekolah. Anak-anak dibiasakan memiliki kecakapan literasi, bisa membaca, memhaami, menganalisis. ini yang lemah. Kemudian di masyarakat dengan gerakan literasi masyarakat," tandas dia.

KEYWORD :

Buta Aksara Kemdikbud Dirjen PAUD Dasmen




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :